Oleh : Luh Susanti*1,
dan Dewa Made Joni Ardana*2
(Locus Majalah Ilmiah Fisip Vol 5 No. 1- Pebruari 2016,
hal 1-12)
Abstraksi, Pemerintah Bali menyelenggarakan program Gerbang Sadu Mandara dalam menangani kemiskinan masyarakat
Bali, melalui salah satu Programnya yaitu BUMDes yang bertujuan untuk pembangunan desa, pemberdayaan masyarakat,
pemberian bantuan hibah dan dan bergulir bagi masyarakat. Penelitian ini
memfokuskan pada pokok permasalahan 1) tentang bagaimana pelayanan yang diberikan
BUMDES 2) kendala-kedala yang dihadapi serta cara penyelesaiannya pada BUMDES
“Sidi Amerta” Desa Sangsit, Kecamatan Sawan, Kabupaten Buleleng. Teknik analisis data menggunakan penelitian
deskriptif tidak dimaksudkan untuk menguji hipotesa tertentu, tetapi hanya
menggambarkan apa adanya tentang suatu gejala atau keadaan. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa BUMDES memberikan pelayanan Unit Usaha Simpan Pinjam, Unit
Usaha Perdagangan, Unit Usaha Ternak dan Unit Usaha Air Bersih/ UPS kepada
masyarakat dan sudah berjalan baik.
Sedangkan kendala-kendala yang dihadapi adalah kurangnya sarana dan prasarana
dan kurang memahaminya masyarakat tentang BUMDES. Saran yang dapat peneliti berikan pada
Manajemen Badan Usaha Milik Desa (BUMDES) untuk meningkatkan pelayanan adalah perlu
adanya sarana dan prasarana yang memadai serta sosialisasi kepada masyarakat,
agar masyarakat mengerti apa itu BUMDES.
Kata kunci:
Kemiskinan, BUMDES, Pelayanan Masyarakat
*1Alumni FISIP
UNIPAS.
*2Staf Pengajar Fisip
Universitas Panji Sakti
1. Pendahuluan
Kemiskinan
merupakan masalah yang secara umum masih belum dapat diselesaikan oleh
negara-negara dunia ke tiga, meskipun telah ada berbagai upaya penanggulangan
yang dilakukan. Kemiskinan bersifat multi dimensi yang ditandai adanya
keterbelakangan dan pengangguran yang kemudian menjadi pemicu ketimpangan
pendapatan dan kesenjangan antar golongan penduduk. Kesenjangan antara penduduk
kaya dengan miskin tidak mungkin dibiarkan karena akan menimbulkan berbagai persoalan
baik sosial maupun politik. Kemiskinan
memiliki konsep yang beragam. World Bank mendefinisikan kemiskinan dengan menggunakan ukuran kemampuan/daya beli, yaitu US $1 atau US $2 per kapita
per hari.
Sementara itu, BPS mendefinisikan kemiskinan didasarkan
pada garis
kemiskinan (poverty line). Nilai garis kemiskinan yang digunakan untuk menentukan kemiskinan mengacu pada kebutuhan minimum yang dibutuhkan oleh seseorang yaitu
21,00 kalori per kapita per hari, ditambah
dengan kebutuhan minimurn non-makan yang merupakan kebutuhan dasar seseorang yang meliputi: papan, sandang,
sekolah,
transportasi, serta kebutuhan
rumah tangga dan individu yang mendasatinya. Menurut BPS,
seseorang/individu yang pengeluarannya lebih rendah dari garis kemiskinan maka
seseorang/individu tersebut dikatakan
miskin.
Dari
pandangan
konvensional kemiskinan dipandang dari sisi moneter, di mana
kemiskinan diukur dengan membandingkan
pendapatan/konsumsi individu dengan beberapa batasan tertentu, jika berada di bawah batasan tersebut, maka dianggap miskin.
Pandangan mengenai kemiskinan
berikutnya adalah bahwa kemiskinan tidak hanya sebatas ukuran moneter, tetapi juga mencakup miskin nutrisi yang diukur dengan memeriksa
apakah pertumbuhan anak-anak terhambat.
Selain itu, juga bisa dari miskin pendidikan, misalnya dengan menggunakan indikator angka buta huruf. Selanjutnya pandangan yang
lebih luas mengenai kemiskinan adalah
kemiskinan ada jika masyarakat kekurangan kemampuan dasar, sehingga pendapatan dan pendidikan yang dimiliki tidak memadai atau kesehatan
yang buruk, atau ketidakamanan, atau
kepercayaan diri yang rendah, atau rasa ketidakberdayaan, atau tidak adanya hak
bebas
berpendapat. Berdasarkan pandangan ini, kemiskinan adalah
fenomena multi dimensi, dan solusi untuk
mengatasinya tidaklah sederhana (Kementerian Sosial dan BPS, 2011: 4). Indikator utama
kemiskinan menurut Bank Dunia adalah kepemilikan tanah dan modal yang terbatas,
terbatasnya sarana dan prasarana yang dibutuhkan, pembangunan yang lebih
mementingkan perkotaan, perbedaan kesempatan di
antara anggota masyarakat, perbedaan sumber daya manusia dan sektor ekonomi,
rendahnya produktivitas, budaya hidup yang jelek, tata pemerintahan yang buruk,
dan pengelolaan sumber daya alam yang berlebihan. Sistem
dan mekanisme kelembagaan ekonomi di pedesaan tidak berjalan efektif
dan berimplikasi pada ketergantungan terhadap bantuan Pemerintah sehingga
mematikan semangat kemandirian (Depdiknas,
2007:1).
Bali yang
dikenal sebagai daerah wisata yang maju dan terkenal di seluruh dunia juga memiliki
masalah kemiskinan. Hal
demikian merupakan sesuatu yang ironis, bahwa di balik majunya industri pariwisata di Pulau Dewata,
terdapat sebuah daerah yang mayoritas warganya miskin. Daerah yang dimaksud
adalah Kabupaten Buleleng, wilayah utara Bali (Kompas, 2014). Kabupaten Buleleng merupakan salah satu Kabupaten
Di Bali yang memiliki jumlah penduduk miskin terbanyak, sehingga wajar jika
Pemerintah Kabupaten Buleleng melalui Dinas Sosial Kabupaten Buleleng
merencanakan dan melaksanakan 5 program pokok yang menjadi skala prioritas,
yaitu pertama masalah kemiskinan, kedua masalah kecacatan, ketiga masalah
keterlantaran, keempat masalah ketunaan
sosial dan kelima masalah bencana alam dan sosial. Strategi
pengentasan kemiskinan di masa depan harus dirancang dengan mempertimbangkan
hubungan antara pembangunan ekonomi, ketimpangan dan serangkaian kebijakan yang
harus membuat pertumbuhan ekonomi terutama bermanfaat bagi masyarakat miskin.
Kebijakan tersebut meliputi pendidikan, pelayanan kesehatan, kredit dan hak
milik dan mereka dikenal sebagai "faktor pro-poor" setelah Besley dan
Burgess (Amini, & Bianco, 2016)
Sejak Tahun
2012 Pemerintah Provinsi Bali mengembangkan Program/ Kegiatan Gerakan
Pembangunan Desa Terpadu Mandara/Gerbang Sadu Mandara (GSM) menjadi wadah
bersama masyarakat Perdesaan dan Kelurahan dalam membangun diri dan
lingkungannya secara mandiri, yang mencangkup Pembangunan Sarana dan Prasarana
serta Sosial Ekonomi Perdesaan dan Kelurahan, menjadi salah satu program Inti
dalam percepatan penanggulangan kemiskinan di Provinsi Bali.
Kegiatan pengembangan
usaha ekonomi masyarakat perdesaan dalam Program Gerbang Sadu Mandara (GSM) dikelola oleh Badan
Usaha Milik Desa (BUMDES). Menurut
Undang-Undang Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa, yang dimaksudkan dengan Badan
Usaha Milik Desa adalah badan usaha
yang seluruh atau sebagian
besar modalnya dimiliki
oleh desa melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan desa yang
dipisahkan guna mengelola aset, jasa
pelayanan, dan usaha lainnya untuk sebesar-besarnya kesejahteraan masyarakat
Desa. Dalam Pasal 89 Undang-Undang Nomor 6 tahun 2014 dinyatakan bahwa hasil
usaha Badan Usaha Milik Desa Sangsit dimanfaatkan untuk: 1) Pengembangan usaha; dan 2) Pembangunan desa, pemberdayaan masyarakat desa,
dan pemberian bantuan untuk masyarakat miskin melalui hibah, bantuan sosial,
dan kegiatan dana bergulir yang ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan dan
Belanja Desa.
Desa Sangsit Kecamatan Sawan merupakan salah satu
desa yang mendapat bantuan dana lewat Program Gerbang Sadu Mandara pada tahun
2013. Desa Sangsit meskipun letaknya tidak begitu jauh dengan kota Singaraja,
tetapi jumlah Rumah Tangga Miskinnya (RTM) terbilang cukup besar yakni sekitar
13,1 % atau tepatnya 404 RTM dari 3079
Kepala Keluarga (KK) yang ada di Desa Sangsit. Dengan adanya bantuan dari
Pemerintah Propinsi Bali melalui program Gerbang Sadu Mandara, diharapkan
jumlah RTM tersebut bisa dikurangi. Di Desa Sangsit, pemahaman masyarakat terhadap Program Gerbang Sadu
Mandara masih rendah, masyarakat beranggapan bahwa Program Gerbang Sadu Mandara
adalah bantuan Pemerintah Propinsi Bali kepada Masyarakat yang tidak perlu di
kembalikan lagi.
Badan Usaha Milik Desa “Sidi Amerta” Desa Sangsit didirikan dengan Peraturan Desa Sangsit Nomor: 04 Tahun
2014, yang ditetapkan pada tanggal 15 Januari 2014. Tujuan pembentukan Badan
Usaha Milik Desa “Sidi Amerta” adalah: 1) Meningkatkan pendapatan asli desa
dalam rangka meningkatkan kemampuan pemerintah desa dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan serta
pelayanan masyarakat; 2) Mengembangkan
potensi perekonomian di wilayah pedesaan untuk mendorong tumbuhnya usaha
perekoniman masyarakat desa secara keseluruhan dalam rangka
pengentasan kemiskinan;
dan 3) Menciptakan Lapangan Kerja, Penyediaan dan jaminan Sosial.
Ditinjau dari sisi dasar dan tujuan pembentukan
tampak bahwa Badan Usaha Milik Desa “Sidi Amerta” diharapkan
dapat memberikan pelayanan kepada masyarakat, khususnya masyarakat miskin,
untuk memberdayakan diri keluar dari belenggu kemiskinan. Di sisi lain, sebagai sebuah unit usaha Badan Usaha
Milik Desa “Sidi Amerta” dituntut tidak hanya memenuhi tujuan
imateriil (ideal), tetapi juga dituntut untuk mencapai tujuan materiil, yaitu
memperoleh keuntungan untuk keberlanjutan dan pengembangan usaha.
Dalam pelaksanaan pemberian pelayanan
kepada masyarakat di berbagai bidang, masih terdapat anggapan bahwa pelayanan
tersebut belum sepenuhnya dapat memenuhi asas-asas pelayanan publik. Masih
terdapat anggapan bahwa dalam pemberian pelayanan masyarakat ada kesenjangan
antara anggota masyarakat yang satu dengan yang lain, termasuk dalam pemberian
pelayanan sehubungan dengan upaya pemberantasan kemiskinan. Dari uraian tersebut
dapat diketahui adanya permasalahan dalam pemberian pelayanan oleh Badan Usaha Milik Desa “Sidi Amerta”, di antaranya tentang pelayanan yang harus menyeimbangkan antara
kepentingan ideal (pengentasan kemiskinan) dan pemberdayaan masyarakat dengan
kepentingan untuk memperoleh benefit. Untuk itu, prinsip-prinsip umum mengenai pemberian
pinjaman tidak boleh di kesampingkan. Selain, itu Badan Usaha Milik Desa “Sidi Amerta” dituntut pula untuk memberikan pelayanan terhadap terhadap masyarakat
secara baik.
Hal demikianlah yang mendorong peneliti
tertarik untuk meneliti masalah ini, yang pada akhirnya diharapkan dapat
memberikan sumbangan secara teoritis maupun praktis dalam pengelolaan Badan
Usaha Milik Desa secara umum, maupun pengelolaan Badan Usaha Milik Desa “Sidi Amerta”, secara khusus. Dengan rumusan masalah sebagai berikut: 1) Bagaimanakah pelayanan
yang diberikan oleh Badan Usaha Milik Desa “Sidi Amerta” Desa
Sangsit?;
2) Kendala-kendala apakah yang dihadapi
serta cara penyelesaiannya pada Badan Usaha Milik
Desa Sidi Amerta dalam memberikan
pelayanan di Desa Sangsit?
2. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan deskriptif
kualitatif, yaitu penelitian yang hanya menggambarkan, mendeskripsikan, dan
meringkas berbagai kondisi dan situasi tentang jawaban atas masalah penelitian
(Moleong, 2013). Dalam hal ini peneliti tidak melakukan
pengujian hipotesis, melainkan berusaha menelusuri, memahami,
menjelaskan gejala, serta kaitan hubungan antara segala sesuatu yang diteliti. Metode penelitian kualitatif
dilakukan pada kondisi alamiah (natural
setting) yang lebih menekankan makna dari pada generalisasi hasil
penelitian (Sugiyono, 2013). Lokasi penelitian adalah di Badan Usaha
Milik Desa (BUMDES) “Sidi Amerta” di Desa Sangsit, Kecamatan Sawan, Kabupaten
Buleleng.
Adapun yang menjadi informan
penelitian ini adalah Ketua BUMDES “Sidi Amerta” Desa Sangsit Nengah Sucita,
Sekretaris I Kadek Puja Antara, Bendahara Ni Nyoman Yeni, Kepala Unit Usaha
Simpan Pinjam Ketut Sadiarna, Kepala Unit Usaha Toko Yadnya/Perdagangan Gede
Karuniawan, Kepala Unit Usaha Ternak Made Soma dan Kepala Unit Usaha Air Bersih
Mangku Tamba. Oleh karena itu, dalam memilih dan
menentukan informan, peneliti mengacu pada teknik “purposive sampling”. Pilihan diberikan pada informan yang dianggap
memiliki pemahaman dan pengetahuan tentang Bumdes dan dikaitkan dengan permasalahan
penelitian.
Untuk dapat
memberikan batasan terhadap penelitian maka menentukan focus penelitian sangat
diperlukan, di samping itu dapat juga mempermudah dalam proses pengumpulan data
Bungin (2009:4). Adapun fokus
penelitian yang peneliti tekankan dalam penelitian ini yaitu: 1) Pelayanan
yang diberikan oleh Badan Usaha
Milik Desa “Sidi Amerta” Desa Sangsit meliputi a)
bentuk-bentuk program pelayanan: 1) Unit Usaha Simpan Pinjam, 2) Unit Usaha
Toko Yadnya/ Perdagangan, 3) Unit usaha ternak, 4) Unit Usaha Air Bersih; b) Standar
yang menjadi acuan pemberian pelayanan
kepada masyarakat dan c) Pelaksanaan pemberian pelayanan kepada masyarakat. Dan
sebagai fokus kedua Pelaksanaan Pemberian Pelayanan
Kepada Masyarakat serta ketiga adalah Kendala-kedala yang dihadapi yang dihadapi Badan Usaha Milik Desa “Sidi Amerta” dalam memberikan pelayanan di Desa Sangsit
serta penyelesaiannya.
3. Hasil Dan Pembahasan Penelitian
1.
Keadaan
Topografi dan Penduduk Desa Sangsit
Desa Sangsit merupakan salah satu dari
14 Desa di wilayah Kecamatan Sawan, Kabupaten Buleleng. Sesuai dengan keadaan
alam, Desa Sangsit berada pada ketinggian 0 – 500 meter di atas permukaan laut
dengan luas wilayah sekitar 845 hektar, dengan batas-batas wilayah desa yaitu :
1) Utara : Laut Bali; 2) Timur : Desa Giri Mas; 3) Selatan : Desa Suwug; 4)
Bara : Desa Kerobokan.
Desa
Sangsit memiliki jumlah penduduk sebanyak 10.252 jiwa dengan rincian 5.159 jiwa
laki-laki (50,3 %) dan 5.093 jiwa perempuan (49,68 %). Bila dilihat dari data
tersebut. Desa Sangsit termasuk desa yang memiliki jumlah penduduk laki-laki
lebih banyak dari jumlah penduduk perempuan. Sedangkan jumlah Kepala Keluarga
adalah 3.079 KK. Ditinjau dari segi pendidikannya, penduduk Desa Sangsit
memiliki tingkat pendidikan yang beragam, dimana penduduk yang berpendidikan
setingkat SLTA/sederajat memiliki jumlah cukup
banyak yakni 513 orang ( baik yang sedang sekolah maupun yang sudah
tamat ) dan yang berpendidikan Sarjana dan Pasca Sarjana yakni sebanyak 101 orang dari jumlah keseluruhan penduduk Desa
Sangsit.
2.
Pelayanan
Badan Usaha Milik Desa (BUMDES) “Sidi Amerta” Desa Sangsit
Berdasarkan dari hasil penelitian
yang telah dilaksanakan, bahwa pelayanan BUMDES “Sidi Amerta” Desa Sangsit
sudah dilakukan dengan cukup baik dan dapat memberikan dampak yang positif
dalam meningkatkan kesejahteraan serta penanganan kemiskinan di Desa Sangsit. Penelitian
ini mendukung hasil penelitian Wijanarko bahwa, “upaya
BUMDes dalam memberi pinjaman kepada anggota telah membantu untuk meningkatkan
perekonomian masyarakat, hal ini tujuan BUMDes untuk mencapai kesejahteraan
masyarakat telah tercapai” (Wijanarko, 2013).
Pelaksanaan kegiatan BUMDES
dilakukan dengan memperhatikan kriteria penerima pinjaman bumdes adalah dengan
memperhatikan karakter seseorang, apakah orang tersebut memiliki kemauan untuk
memenuhi kewajiban, kemauan untuk melunasi kewajiban dan melakukan penilaian
terhadap suatu usaha dengan memperhatikan komposisi permodalannya. Sedangkan
tata pelaksanaan proses pengajuan kredit adalah dengan mengisi blangko
permohonan kredit yang dilengkapi dengan photo copy KK, KTP dan KPS yang
ditandatangani oleh Kadus dan anggota BPD, dengan menerapkan struktur baku
pelayanan baik dibidang kredit, usaha perdagangan dan air bersih. Setelah itu
diverifikasi oleh tim kredit dari BUMDES. Setelah diverifikasi maka tinggal
menunggu jadwal pencairannya.
Dengan berbagai jenis
pelayanan yang diberikan menyangkut penanganan berbagai persoalan yang dihadapi
oleh masyarakat pedesaan, dibidang ekonomi pedesaan dilayani melalui usaha
simpan pinjam dan pertokoan, dengan harga yang dapat dijangkau oleh masyarakat.
Di bidang konsumsi masyarakat, dalam
pemenuhan kebutuhan pokok sehari-hari, bidang kesehatan dan pendidikan juga
dapat dilayani melalui penyediaan kredit konsumtif, dan bantuan sosial bagi
masyarakat tidak mampu. Adalah menjadi
tanggungjawab pemerintah dalam mengatasi masyarakat miskin, yang langsung pada
tingkat pedesaan, sebagai wujud percepatan penyelesaian kemiskinan, sebagai “the common responsibility of the political”
(Gaisbauer & Sedmak, 2014).
3. Kendala-kendala yang dihadapi dalam memberikan
pelayanan kepada masyarakat serta cara penyelesaiannya
Pembangunan yang bertujuan
untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, agar lebih mudah tercapai adalah
dengan menerapkan konsep desentralisasi, dari pemerintah pusat kepada daerah,
bahkan sampai pada tingkat pedesaan. Dengan demikian layanan dilakukan langsung
menyasar pada kelompok masyarakat miskin, guna memperoleh akses yang lebih
cepat pada sumberdaya ekonomi dan permodalan. Menurut Bank Dunia, pembangunan
pedesaan adalah strategi yang telah diterapkan di kedua misi regional dan
nasional untuk mengurangi kemiskinan di pedesaan, proses pertumbuhan ekonomi
yang mudah dari desa oleh penghapusan hambatan, meningkatkan akses ke kredit,
dan lain-lain sesuai dengan tantangan global dan kebijakan daerah (Bank Dunia,
2010 dalam Falsafi, et all, 2013).
Untuk pengembangan konteks terpisahkan berkelanjutan lingkungan, ekonomi, sosial,
budaya, politik dan kelembagaan dari pembangunan pedesaan, partisipasi
masyarakat sebagai modal manusia adalah dasar perubahan (Khanh, 2011 dalam Falsafi,
et all, 2013).
Dari hasil wawancara di atas
bahwa kendala yang dihadapi adalah kurangnya pemahaman masyarakat tentang
kredit BUMDES. Mereka menganggap BUMDES merupakan bantuan cuma-cuma dari
pemerintah sehingga kredit menjadi macet.
Namun sebenarnya secara teori BUMDES tersebut ditujukan pada 1) Pengembangan dan Penguatan Kelembagaan, bahwa
dengan Bumdes desa dinas menjadi lebih kuat, secara organisasi, permodalan dan
perluasan pelayanan pada masyarakat; 2) Penguatan kapasitas (capacity
building). Mencakup pemberdayaan, pelatihan, dan fasilitasi secara
berjenjang.; 3) Penguatan Pasar.
Setelah Badan Usaha Milik Desa berdiri diharapkan melakukan kerja sama dengan
pihak, memperluas jangkauan usaha dan layanan; 4) Keberlanjutan. Mencakup pengorganisasian, forum advokasi, dan
promosi sehingga mendapatkan wujud Badan Usaha Milik Desa yang ideal serta
semakin mendapatkan dukungan dari berbagai kalangan terutama masyarakat
dan dunia usaha (Risadi, 2014).
Namun pelaksanaan BUMDES dalam
penelitian menemui banyak kendala, akibat dari ketidak pahaman masyarakat,
pengurus dan para pelaksana kebijakan di pedesaan. Upaya-upaya penyelesaian
masalah terus dilakukan antara lain dengan memberi pembinaan dan teguran apabila
3x tidak membayar. Apabila pembinaan tidak dihiraukan, maka dikenakan sanksi
tidak mendapat pelayanan administrasi pada kantor desa dan tidak diberikannya
beras untuk masyarakat miskin yang pencairannya melalui KPS. Menurut Tjiptono (2001:51) bahwa “kualitas merupakan suatu kondisi
yang dinamis yang berhubungan langsung dengan produk, jasa, manusia, proses dan
lingkungan yang memenuhi atau melebihi harapan”. Jadi baik tidaknya layanan
sangat tergantung kepada si penerima layanan atau pelanggan, oleh karena itu
keinginan atau kebutuhan pelanggan yang menjadi perhatian utama kalau
menginginkan kualitas pelayanan. Sedangkan menurut Sinambela (2011), Pelayanan
publik diartikan sebagai setiap kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah
terhadap sejumlah manusia yang memiliki setiap kegiatan yang menguntungkan
dalam suatu kumpulan atau kesatuan, dan menawarkan kepuasan meskipun hasilnya
tidak terikat pada suatu produk secara fisik. Dengan demikian, pelayanan publik
adalah pemenuhan keinginan dan kebutuhan masyarakat oleh penyelenggara negara.
4.
Simpulan dan
Saran
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan,
dapat disimpulkan sebgai berikut: 1) Pelayanan yang diberikan oleh Badan Usaha
Milik Desa (BUMDES) “Sidi Amerta” di Desa Sangsit adalah dengan memberikan
pelayanan Unit Usaha Simpan Pinjam, Unit Usaha Perdagangan, Unit Usaha Ternak
dan Unit Usaha Air Bersih/ UPS kepada masyarakat; 2) Kendala-kendala yang
dihadapi dalam memberikan pelayanan adalah: a) Belum terpenuhinya sarana dan
prasarana BUMDES yang belum terpenuhi dan belum memadainya ruangan tempat kerja
BUMDES itu sendiri. Cara mengatasinya adalah dengan memenuhi sarana dan
prasarana; b) Kurangnya wawasan dari masyarakat dan menganggap bahwa bantuan
BUMDES itu gratis serta jenis usaha dari
masyarakat yang dilakukan masih bersifat monoton. Cara mengatasinya adalah
dengan memberikan sanksi kepada masyarakat yang tidak mampu membayar kreditnya.
Saran yang dapat disampaikan adalah : 1)
Pelayanan yang diberikan oleh Badan Usaha Milik Desa (BUMDES) “Sidi Amerta” di
Desa Sangsit sudah baik dan dipertahankan, bila perlu ditingkatkan lagi; 2)
Pengurus tetap melakukan sosialisasi kepada masyarakat tentang peraturan yang berlaku,
sehingga masyarakat paham dan mengerti tentang maksud dan tujuan BUMDES “Sidi
Amerta” di Desa Sangsit.
Daftar Pustaka
Amini, Chiara &
Silvia Dal Bianco 2016. “Poverty,
Growth, Inequality And Pro-Poor Factors: New Evidence From Macro Data”. The Journal of Developing Areas50.2 (Spring
2016): 231-254.
Bungin, Burhan, 2009. Penelitian Kualitatif: Komunikasi,
ekonomi, Kebijakan Publik, dan Ilmu Sosial Lainnya. Prenada Media Group,
Jakarta
Dwiyanto,
Agus, 2011, Manajemen Pelayanan Publik :
Peduli,Inklusif, dan Kolaboratif, Yogyakarta : Gajah Mada University Press
Falsafi, Peyman; Kashani, Somayeh
Jangchi; & Parsmehr, Marjan, 2013. “Sustainable development of rural as
a strategy to achieve social cohesion and reinforce of concrete entities (Case
study: Hesarbala rural, Javadabad rural district of Varamin city)”.
Gaisbauer
, Helmut P. & Clemens Sedmak, 2014. “Neglected futures. Considering overlooked
poverty in Europe”. European Journal of Futures Research2.1 (Dec 2014): 1-8.
Kementrian Sosial dan Badan
Pusat Statististik, 2011. Analisis Data
Kemiskinan Berdasarkan Data Pendataan Program Perlindungan Sosial (PPLS) 2011.
Moleong, L. 2013. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung:
PT Remaja Rosda Karya.
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 39 Tahun 2010 tentang Badan Usaha Milik Desa.
Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang
Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014.
Risadi,
Aris Ahmad. 2014. “UU Desa Spirit Baru BUMDes”, http://www.kemenegpdt.go.id. Diakses 20 Januari 2014.
Sinambela,
Lijan Poltak, 2011. Reformasi Pelayanan
Publik: Teori, Kebijakan dan Implementasi. Bumi Aksara, Jakarta
Tjiptono,
Fandi, 2001, Manajemen Jasa, Yogyakarta
: Andi.
Sugiyono.
2013. Metode Penelitian Pendidikan
Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Penerbit Alfa Beta :
Bandung.
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa
Wijanarko, Agung
Septian, 2013. “Peran Badan Usaha Milik
Desa (Bumdes) Dalam Pemberdayaan Masyarakat Di Desa Pandankrajan Kecamatan
Kemlagi Kabupaten Mojokerto”. Skripsi
FISIP Universitas Pembangunan Nasional “VETERAN” Jawa Timur Surabaya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar