Sabtu, 30 Januari 2016

STRATEGI PENGEMBANGAN LAYANAN PUBLIK DALAM LAYANAN PENDAFTARAN TANAH GUNA MEWUJUDKAN VISI DAN MISI BADAN PERTANAHAN NASIONAL



Oleh: Gede Sandiasa*
(Locus Majalah Ilmiah Fisip Vol 4 No. 1- Agustus 2015, hal 11-31)
Ringkasan
Kesadaran masyarakat dalam rangka mendaftarkan tanah, sebagai asset yang penting, masih sangat kurang, hal ini dipengaruhi, pemahaman tentang fungsi tanah, selain sebagai tempat tinggal, sebagai lahan pertanian yang subur, sebagai mata pencaharian, belum dipahami sepenuhnya bahwa tanah merupakan sumberdaya yang terbatas, dan memiliki nilai ekonomis yang tinggi. Disamping itu rumitnya persoalan yang timbul sebagai akibat kekaburan hak milik atas tanah, prosedur yang berbelit-belit, petugas yang tidak professional dan komitmen penjaminan hukum yang rendah atas milik berpengaruh besar terhadap keinginan untuk mendaftarkan tanah. Kualitas layanan publik menjadi sangat penting untuk dapat meningkatkan angka partisipasi masyarakat dalam mendaftarkan tanah, selain itu kepentingan untuk mengembagkan strategi layanan publik, sehingga visi dan misi layanan publik, dalam hal ini BPPN dapat tercapai. Strategi merupakan totalitas keputusan manajemen yang menentukan tujuan dan arah kelembagaan publik dan karena itu tujuan fundamentalnya, kegiatan dan kebijakan itu memilih untuk mencapai tujuannya, agar dapat to improve the ‘efficiency’ of public service. Rekomendasi bahwa perlu dilakukan sosialisasi terus menerus, peningkatan kualitas dan profesioanalisme sumberdaya aparatur pemerintah, penguatan komitmen pejabat publik dalam menjamin kepastian hukum dan ha katas tanah.

Kata Kunci: Layanan Publik, Pendaftaran Tanah, kualitas layanan publik


 
*Staf Pengajar Fisip Universitas Panji Sakti


1.    Pendahuluan
Tanah dalam hidup masyarakat tidak sekedar lahan untuk bermukim, tetapi identitas pertanda kekuasaan bagi berlangsungnya suatu generasi, bila surat tanah belum dimiliki, anda harus mawas diri, bisa-bisa suatu saat tanah yang anda tinggali diklaim sebagai milik orang lain (Goenawan, 2009). Demikian pentingnya individu dalam suatu bangsa harus memiliki tanah, yang bisa berdemensi ekonomi sebagai tempat melakukan usaha produktif, maupun memiliki nilai ekonomi secara komersial, juga mengandung dimensi sosial, tempat bermukim sebuah keluarga dalam membina kehidupan rumah tangga, bermasyarakat dan melakukan kebudayaan, serta sebagai pencitraan dan alat keuasaan politik. Oleh sebab itu hak kepemilikan menjadi penting dan harus jelas. Akan tetap dalam pengurusan hak kepemilikan ini tidaklah begitu mudah dan penuh resiko.
Rumitnya persoalan agraria terjadi karena kebijakan agraria berganti-ganti seiring pergantian kepemerintahannya, menurut Wiradi (dalam Chrysantini, 2007) kasus-kasus sengketa tanah yang terjadi di seluruh wilayah Indonesia diakibatkan oleh kebijakan agraria pemerintah orde baru yang dipandang mendua. Di satu sisi pemerintah Ode Baru menjadikan UUPA 1960 sebagai landasan hukum yang sah terkait persoalan pertanahan, namun disisi lain banyak kasus pertanahan ditangani berbeda dan melenceng dari semangat UUPA (Chrysantini, 2007: 8). Kondisi yang demikian berlangsung sampai saat ini, memandang persoalan tanah menjadi permasalahan yang sepele, yang akibatnya menjadikan sengketa di kemudian hari yang tidak jarang terjadi tindak kekerasan dan perampasan hak atas tanah yang dapat dimenangkan oleh pihak-pihak tertentu, yang sebenarnya bukan menjadi haknya. Ada beberapa kasus tanah yang menonjol dapat dilihat baik dalam skala nasional maupun tingkat daerah sampai pada hak milik perseorangan dapat diungkapkan, seperti kasus mesuji Lampung, kasus tanah di Serdang Bedagai, bahkan dalam kurun 2007-2009 di Indonesia menurut  Kasubdit Konflik Pertanahan BPN RI, Henry Rustandi Butarbutar, pada 2007 jumlah laporan konflik tanah yang masuk ke BPN RI hanya 2.615 kasus. Tetapi pada 2009, jumlahnya melonjak menjadi lebih dari tujuh ribu kasus di seluruh Indonesia (Pikiran Rakyat, 2010). Kasus di daerah juga tidak kalah pentingnya, seperti kasus tanah Lemukih terungkap dalam dialog interaktif Radio Guntur 31 Desember 2010, diawali dengan upaya pensertifikatan tanah ulayat (desa adat) pada tahun 1972-1974, lalu menjadi persoalan yang serius mulai tahun 2003 dan pada tanggal 22 Oktober 2010 terjadi pembakaran 14 rumah pemilik sertifikat (Kompas, 2010). Kasus tanah Lemukih berawal dari sengketa tanah adat Lemukih 93 hektar. Dengan adanya aturan landreform kepemilikan tanah dibatasi. Termasuk tanah Desa Lemukih dibatasi maksimal 30 hektar. Sisanya 66 hektar dimohon oleh penggarap tanah sehingga keluar sertifikat hak milik (Ratnasa, 2010). Sampai kasus penolakan pelaksanaan Prona (Program Nasional) sertifikasi massal dari masyarakat Desa Sudaji setelah terjadi kasus pungutan liar aparat desa dari pelaksanaan Prona sebelumnya dan juga kasus pungutan pelaksanaan Prona di Desa Ringdikit Kabupaten Buleleng. 
Lemahnya pengawasan terhadap pelaksanaan pendaftaran tanah, dan komitmen dari aparat terhadap konsistensi pelaksanaan UU dan peraturan serta sumberdaya manusia yang tidak professional mengakibatkan sejumlah persoalan di atas. Hal ini didukung hasil penelitian tentang kinerja pelayanan publik pada Kantor Pertanahan Kota Semarang menemukan hal-hal sebagai berikut:
1.    kinerja pelayanan yang diberikan aparat Kantor Pertanahan  menunjukkan hasil yang kurang optimal
2.    Prosedur melaksanakan tugas memberikan pelayanan masih kurang dipahami
3.    Kurangnya kinerja pelayanan akibat  adanya sikap diskriminasi yang melibatkan aparat.
4.    Peraturan belum bisa dilaksanakan secara konsisiten (Sri Suryanti, 2009)
Memperhatikan berbagai kasus pertanahan yang ada, ini menandakan ketidakseriusan pemerintah dalam melaksanakan upaya pendaftaran tanah secara benar, dan melibatkan partisipasi masyarakat secara maksimal. Dalam memperkecil ruang sengketa kepemilikan tanah ke depan pemerintah utamanya Badan Pertanahan Nasional mesti menyusun strategi pelayanan yang tepat, dimana masyarakat dan pihak-pihak terkait terlibat di dalamnya secara penuh. Dimana strategi ini juga di akui oleh Styre dapat memberikan nilai komersial dari lembaga bersangkutan: partisipasi masyarakat meningkat, pencitraan lembaga menjadi lebih baik dan dapat menghasilkan pendapatan Negara di luar pajak secara meningkat, berikut pendapatnya “Strategically necessary over time, with a reasonable rate of commercial success (Styre, 2007: 17).



2. Strategi dalam Pelaksanaan Layanan Publik
2.1. Strategi Pengembangan Organisasi
Strategi adalah perhatian terhadap dua hal yaitu lingkungan `eksternal 'dan masa depan`. Mintzberg (1994) menyatakan bahwa `organisasi perlu memiliki kepekaan di mana organisasi bekerja dan kekuatan apa dari lingkungan  yang dapat membantu atau menghalangi dalam mencapai tujuan perusahaan. Sedangkan Lynch (1997) menyatakan bahwa `strategi cenderung  pada perhatian terkait dengan kelangsungan hidup bisnis sebagai tujuan minimum dan penciptaan nilai tambah sebagai tujuan maksimal. Selanjutnya dengan pemaknaan yang hampir sama Bennett (1996) mendefinisikan sebagai `totalitas keputusan manajemen yang menentukan tujuan dan arah perusahaan dan karena itu tujuan fundamentalnya, kegiatan dan kebijakan itu memilih untuk mencapai tujuannya. Kesimpulan dari strategi adalah pernyataan tentang bagaimana organisasi mengharapkan untuk mencapai misi dan tujuan, merupakan  road map (kerangka kerja) yang menguraikan bagaimana organisasi akan mencapai tujuan tersebut, serta langkah-langkah yang perlu diambil (Hollins and Shinkins, 2006: 74).
Dan selanjutnya akan dijelaskan berbagai hal tentang Strategi layanan publik khusus yang diberlakukan pada perusahaan swasta memakai sumber buku utama “Managing Service Operations”  dari Bill Hollins dan Sadie Shinking. Mencoba untuk mengkritisi layanan publik dari sudut pandang keberhasilan praktik layanan di sektor swasta. Dalam hal ini penulis mengungkapkan berbagai persoalan layanan publik yang terjadi di Badan Pertanahan Nasional, tat kala melayani pendaftaran tanah di Negara ini. Tujuan utama menyusun misi ke depan agar bagaimana kostumer atau masyarakat yang dilayani untuk tetap setia dan datang kembali pada pelayanan organisasi. Strategi ini, disusun dari penelahaan dan pengkajian kelembagaan maupun lingkungan, serta pelanggan melalui pendekatan SWOT (Strengths, Weaknesses, Opportunities, Threats) atau PEST bahkan ditambahkan menjadi PESTELI (Political, Economic, Social, Technological, Environmental, Legislative, Industry). Dari dalam kelembagaan sendiri harus mampu menunjukkan keunggulan kompetitif, yang dapat dicapai melalui dua cara. Pertama differentiation; datang dari pencapaian keunggulan kualitas atau melalui tepat waktu, pelaksanaan pelayanan yang handal atau dari menawarkan kinerja yang fleksibel yang sangat responsif terhadap kebutuhan pelanggan, dan juga dapat menawarkan barang bermerk, memperluas jangkauan produk, memanfaatkan skala ekonomi, menawarkan prosedur sangat personal, yang pada akhirnya dapat menawarkan harga yang pantas (premium). Pencapaian keunggulan kompetitif juga dapat ditempuh melalui cara kedua, competing on cost (bersaing pada biaya); menyederhanakan proses bisnis, standarisasi, memanfaatkan otomatisasi dan menawarkan barang tanpa merk, singkatnya melalui proses yang tepat dapat mengurangi biaya produksi, yang berakhir pada penawaran produk yang murah.
Dalam sistem layanan publik pertanahan tentunya bisa mengadopsi hal tersebut, dengan cara yang berbeda. Dengan menetapkan renstra yang tepat semestinya keunggulan kompetitif ini dapat memberi kenyaman pada masyarakat dalam mengurus pendaftaran tanah, tidak melibatkan biaya yang mahal dan proses yang berbelit-belit. Rencana Strategis BPN-RI Tahun 2010-2014  merupakan wadah harmonisasi perencanaan, serta pelaksanaan tugas dan fungsi pemerintah di bidang pertanahan pasca penataan kembali organisasi BPN-RI secara menyeluruh, terintegrasi, efisien dan sinergis dengan berbagai sektor dalam rangka mencapai tujuan pembangunan nasional.
Dengan memperhatikan tugas pokok dan fungsi serta visi dan misi BPN-RI 2010-2014 tersebut, maka sasaran strategis yang diharapkan adalah sebagai berikut:
·       Pertanahan berkontribusi secara nyata untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, penciptaan sumber-sumber baru kemakmuran rakyat, pengurangan kemiskinan dan kesenjangan pendapatan, serta peningkatan ketahanan pangan (prosperity).
·       Pertanahan berkontribusi secara nyata dalam peningkatan tatanan kehidupan bersama yang lebih berkeadilan dan bermartabat dalam kaitannya dengan P4T (equity).
·       Pertanahan berkontribusi secara nyata untuk mewujudkan tatanan kehidupan bersama yang harmonis dengan mengatasi berbagai sengketa, konflik dan perkara pertanahan di seluruh tanah air serta melakukan penataan perangkat hukum dan sistem pengelolaan pertanahan sehingga tidak melahirkan sengketa, konflik dan perkara di kemudian hari (social welfare).
·       Pertanahan berkontribusi secara nyata bagi terciptanya keberlanjutan sistem kemasyarakatan, kebangsaan dan kenegaraan Indonesia dengan memberikan akses seluas-luasnya pada generasi yang akan datang terhadap tanah sebagai sumber kesejahteraan masyarakat (sustainability) (Anonim, 2010)

2.2. Tingkat Strategi
Strategi digunakan untuk mencapai peningkatan output maupun aoutcome dari sebuah lembaga layanan publik, melalui membangun visi ke depan, dengan memperbaiki kinerja yang efisien dan memberi dampak yang baik bagi pelaksanaan pelayanan.  Hal ini didukung pendapat O’Toole (2006: 191) sebagai berikut “to improve the ‘efficiency’ of public service (keinginan untuk meningkatkan 'efisiensi' pelayanan publik). Sedangkan menurut  Osborne and Gaebler (dalam Wallace, 2007: 16), dimana strategi dicapai melalui pendekatan NPM menyampaikan “ political project of ‘new public management’ (NPM), seeking efficiency gains and quality improvements through the introduction of business practices, strong accountability mechanisms,  marketization and privatization “ (pendekatan politik  'NPM', mencari keuntungan efisiensi dan peningkatan kualitas melalui pengenalan praktik bisnis, mekanisme akuntabilitas yang kuat, marketisasi dan privatisasi). Selanjutnya Boyne  dkk  (2006: 7) menyebutkan bahwa: “range of management variables influence the performance of public organizations, including innovation, leadership, managerial quality, and  strategy”  (berbagai variabel manajemen mempengaruhi kinerja organisasi publik, termasuk inovasi, kepemimpinan, kualitas manajerial, dan strategi).
Melalui pendekatan top down dimana strategi ditingkat perusahaan maupun BPN nasional menetapkan arah ke seluruh organisasi yang berada dibawahnya, mengakui para pemangku kepentingan kunci organisasi berusaha untuk memenuhi para stakeholder baik internal maupun eksternal. Strategi tersebut adalah pernyataan tentang bagaimana organisasi ingin memposisikan diri dalam ekonomi, politik, dan  lingkungan sosial. Untuk mencapai kemampuan yang maksimal dalam mendorong keberhasilan organisasi mengembangkan dan melaksanakan strategi dapat mengacu pada model Hayes dan Wheelwright’s, yaitu teridiri dari :1)  internal neutrality (netralitas Intern), pada tahap fungsi operasi berupaya untuk mencapai standar minimal tertentu, sebagai fokusnya adalah menghindari kesalahan, sehingga cenderung melihat ke dalam dan publisitas reaktif. 2) external neutrality (netralitas eksternal), disini fungsi operasi membandingkan kinerja mereka dengan organisasi pesaing. Pembandingan kinerjanya dibandingkan dengan pesaingnya memungkinkan untuk mengidentifikasi ide-ide terbaik untuk ditiru. 3) internally supportive (internal mendukung operasi); memiliki aspirasi untuk terus meningkatkan dan menjadi yang terbaik di pasar. Fungsi operasi telah mengembangkan proses yang sesuai operasi dan sumber daya yang unggul di daerah di mana organisasi  harus bersaing secara efektif dan 4) externally supportive (dukungan secara eksternal) pada tingkat fungsi operasi memainkan peran utama dalam strategi pembuatan dan membentuk dasar kompetitif yang sukses di masa depan, melalui sumber daya pengorganisasian dengan cara inovatif atau dalam mendesain secara fleksibilitas, sehingga mampu beradaptasi dengan perubahan pasar

3. Kualitas Layanan Publik atas Pendaftaran Tanah
Pembentukan layanan publik yang berkualitas adalah hal yang penting, yang dapat menunjukkan pekerjaan yang baik dari aparat pelayan publik yang selalu mengedepankan publik sebagai hal yang utama. Fokus pada bagaimana warga merasa tentang kualitas, kuantitas, dan biaya layanan, serta mampu menata kembali masyarakat dan sumber daya untuk melakukan pekerjaan itu lebih baik, untuk menemukan kembali sebuah etika pelayanan publik yang menempatkan publik sebagai hal yang utama, dan  membantu masyarakat di di dalam kehidupannya. Hal ini terungkap pada pendapat King dan Stivers, secara lengkap sebagai berikut: “focus on how citizens felt about the quality, quantity, and cost of the city services, and was able to reorganize people and resources to do the job better.. to rediscover an ethical of public service that puts the public first… help the community on the journey” (King & Stivers, 1998:165).
Menurut Chamber dan Jhonson dalam buku yang sama, menyebutkan lima tujuan kinerja yang berlaku pada semua tingkatan operasional yang memberikan keunggulan kompetitif bagi organisasi, yaitu 1) quality meliputi kualitas dari desain produk pada ukuran estetika, kehandalan dan kinerja serta kualitas proses dalam memberikan produk atau jasa. 2) fleksibilitas adalah mengenai operasi yang bisa mengubah apa yang dilakukannya dengan cepat. Fleksibilitas dalam pilihan layanan, baik cara dan waktu memberi kesempatan untuk diferensiasi. 3) kecepatan (speed) adalah semua terkait dengan berapa lama pelanggan menunggu sebelum menerima layanan, memperhatikan schedul perencanaan dan kapasitas perencana serta manajemen persediaan untuk dapat memenuhi tujuan kecepatan. 4) Ketergantungan (dependability), tentang konsistensi. Proses organisasi harus diarahkan untuk secara konsisten memenuhi waktu layanan yang dijanjikan untuk produk atau layanan. Dan 5) Biaya (cost) adalah tujuan terakhir, organisasi telah mengadopsi strategi biaya rendah, melalui menurunkan biaya produksi barang dengan harga lebih rendah yang dapat ditawarkan kepada pelanggan, yang pada gilirannya akan meningkatkan penjualan dan keuntungan.
Perjuangan untuk mengurangi konflik, membangun perdamaian yang berkelanjutan, dan memperkuat kapasitas dan legitimasi Negara yang terpilih secara demokratis  tidak dapat diremehkan (Doyle dan Sambanis, 2006 di Bevir, 2011: 179).  Selanjutnya dalam masyarakat termiskin di dunia, tata pemerintahan demokratis menghadapi kendala yang sangat parah dalam memberikan pelayanan publik dasar kepada warga negara mereka (Bevir, 2011: 179). Menyitir dari kedua pendapat tersebut, maka Negara Indonesia dalam pelayanan publik kurang lebih menghadapi berbagai persoalan seperti digambarkan pendapat tersebut, ketika melakukan perjuangan untuk mewujudkan demokrasi dalam masyarakat. Mengejar kualitas layanan yang dapat memberikan sejumlah kenyamanan, memberikan pilihan yang terbaik pada masyarakat dalam setiap bidang layanan publik, yang hasilnya memuaskan masyarakat dan tidak menimbulkan konflik, khususnya dibidang layanan pedaftaran tanah.
Hak-hak atas tanah yang diberikan oleh Negara kepada individu atau badan hukum merupakan bukti yuridis penguasaan tanah sehingga pihak lain tidak dapat mengganggu gugat hak tersebut. Dapat pula dikatakan bahwa subyek hak atas suatu tanah akan mendapatkan perlindungan hukum dari orang yang tidak berkepentingan untuk mengambil alih hak atas tanah tersebut (Sembiring, 2010: 4). Dalam UUPA tahun 1960 dalam pasal 4 ayat 1 disebutkan bahwa” Atas dasar hak menguasai dari Negara sebagai yang dimaksud dalam pasal 2 ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain serta badan. Selanjutnya di dalam pasal 16 UUPA/UU No. 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria ditentukan hak-hak yang dapat dimiliki oleh seseorang dan badan atas suatu tanah (Santosa, 2008; Sembiring, 2010; UUPA 1960) yaitu: a. hak milik, b. hak guna-usaha, c. hak guna-bangunan, d. hak pakai, e. hak sewa, f. hak membuka tanah, g. hak memungut-hasil hutan, dan h. hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut.
Dalam penyelesaian sertifikat tidak ada upaya tindak lanjut yang dapat diberikan kepada masyarakat untuk diberikan informasi secara lengkap baik tentang proses selanjutnya, hubungannya dengan pajak maupun tentang kemanfaatan dari kepemilikan sertifikat. Permasalahan lain dalam penyelesaian masalah sertifikat sebenarnya ada perkeculaian-perkecualian mengenai pengenaan biaya sesuai dengan peraturan pemerintah 2010 terutama bagi masyarakat miskin dan tanah wakaf, maupun tentang pelaksanaan Prona masyarakat dalam pelayanan tertentu, tidak dikenakan biaya akan tetapi dalam praktiknya justru membayar lebih mahal dari pengurusan pendaftaran tanah bagi masyarakat umum. Disamping itu penerapan pembayaran di masing-masing stakeholder penyelenggara pendaftaran tanah baik melalui pejabat di kantor camat, dan notaris-notaris sering menunjukkan perbedaan yang mencolok mengenai biaya, terutama penggenaan pajak jual beli, atau pemberlakuann perhitungan pajak tidak memiliki ketentuan baku, seperti tercantum pada Peraturan Pemerintah RI Nomor 13 tahun 2010 tentang Jenis dan Tarif atas Penerimaan Negara bukan Pajak yang berlaku pada Badan Pertanahan Nasional.
Ketidak pastian waktu penyelesaian pendaftaran dan pensertifikatan tanah juga menjadi persoalan yang tidak kalah pentingnya. Permasalahan yang juga sering memperumit permasalahan di bidang pertanahan dan dapat menimbulkan konflik adalah adanya aktor sengaja dari beberapa masyarakat dan oknum pejabat yang berwenang membuat berita acara kesaksisan tentang objek tanah (dokumen palsu) dan ditambah dengan adanya pejabat pendaftaran tanah yang kurang teliti dan tidak professional dapat memproduksi sertifikat palsu yang kemudian hari banyak menimbulkan gugatan dan konflik pada masyarakat. Sumberdaya manusia BPPN terbatas dan kurang professional dapat menimbulkan penumpukan berkas, hasil ukur tanah yang berubah-rubah serta biaya yang tinggi pada penyelesaian pendaftaran tanah, nampaknya pelayanan tidak lepas dari persoalan korupsi “under the new democratic dispensation is indeed a step in the right direction to ensuring a “corruptionfree” public service(Farasmand, 2002: 197). Kurang bagusnya pelayanan dan praktik pendaftaran tanah yang berbeda dengan visi dan misi BPN, banyak disebabkan oleh kemampuan manajerial dan administratif dari para pemangku kepentingan dalam layanan pertanahan, seperti terungkap pada kedua pendapat berikut ini.  Pendapat Lyn “administrative and managerial change’ in public services” (dalam Osborne and Brown, .2005:  52) serta didukung oleh Christopher Hood  dan Martin Lodge menyampaikan bahwa:
“commonplace for politicians and commentators alike to assert that a ‘new paradigm’ in public administration—emphasizing ‘delivery’, managerial ability, and initiative on the part of bureaucrats—is displacing more passive, autonomous, and detached bureaucratic styles associated with a past era” (bagi politisi dan komentator sama-sama menegaskan bahwa 'paradigma baru' administrasi penekanan  'delivery', kemampuan manajerial, dan inisiatif dari pihak birokrat-ini menggantikan gaya birokrasi yang pasif, otonom, dan terpisah dari masa lalu) (Hood & Lodge, 2006: 4).

Mengingat sejumlah persoalan di atas, tentang layanan pendaftaran tanah, menunjukkan komitmen aparat pelayanan tidak menunjukkan dari apa yang disiratkan pada UU No. 37 tahun 2008 tentang Ombudsman dan UU No. 25 tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. UU no. 37 tahun 2008 menyebutkan bahwa: tujuan terbentuk Ombudsman adalah terwujud aparatur penyelenggara negara dan pemerintahan yang efektif dan efisien, jujur, bersih, terbuka serta bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme. Sedangkan pada UU no. 25 tahun 2009 pasal 4,  menyebutkan  tentang Penyelenggaraan pelayanan publik berasaskan:  a. kepentingan umum; b. kepastian hukum; c. kesamaan hak; d. keseimbangan hak dan kewajiban; e. keprofesionalan; f. partisipatif; g. persamaan perlakuan/tidak diskriminatif; h. keterbukaan; i. akuntabilitas; j. fasilitas dan perlakuan khusus bagi kelompok rentan; k. ketepatan waktu; dan l. kecepatan, kemudahan, dan keterjangkauan.
Sebenarnya UU tersebut telah disusun untuk memenuhi kriteria kualitas sektor pelayanan publik, seperti apa yang telah ditulis oleh Carlson dan Schwarz (1995) sebagai berikut: 1) convenience (kenyamanan), mengukur sejauh mana pelayanan pemerintah mudah diakses dan tersedia bagi warga negara;
2) security (k
eamanan),  mengukur sejauh mana layanan yang disediakan dapat membuat warga merasa aman dan percaya diri saat menggunakan layanan;
3) reliability (k
eandalan), menilai sejauh mana pelayanan pemerintah disediakan dengan benar dan tepat waktu; 4) personal attention (perhatian pribadi), mengukur sejauh mana karyawan memberikan informasi kepada masyarakat dan bekerja dengan mereka untuk membantu memenuhi kebutuhan mereka;
5)
problem-solving approach (pendekatan pemecahan masalah), mengukur sejauh mana karyawan memberikan informasi kepada masyarakat dan bekerja dengan mereka untuk membantu memenuhi kebutuhan mereka; 6) fairness (keadilan), mengukur sejauh mana warga percaya bahwa layanan pemerintah disediakan dengan cara yang adil untuk semua; 7) fiscal (tanggung jawab fiskal), mengukur sejauh mana warga negara percaya pemerintah daerah menyediakan layanan dengan cara yang menggunakan uang secara bertanggung jawab; dan citizen influence (pengaruh warga negara); mengukur sejauhmana warga Negara merasa berpengaruh pada kualitas pelayanan publik yang diterima dari pemerintah Den Hardt  & Denhardt, 2007: 61).

4. Pendaftaran Tanah dan Asas Pendaftaran Tanah
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah: pasal 1 menyebutkan bahwa: pendaftaran tanah adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan pemerintah secara terus menerus, berkesinambungan dan teratur, meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan, dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis, dalam bentuk peta dan daftar, mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun, termasuk pemberian surat tanda bukti haknya bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan hak milik atas satuan rumah susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya. Pendaftaran tanah menurut pasal 3 bertujuan:
a.    Untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang hak atas suatu bidang tanah, suatu rumah susun dan hak-hak lain yang terdaftar agar dengan mudah dapat membuktikan dirinya sebagai pemegang hak yang bersangkutan.
b.    Untuk menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan termasuk pemerintah agar dengan mudah dapat memperoleh data yang diperlukan dalam mengadakan perbuatan hukum mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satu rumah susun yang sudah terdaftar;
c.    Untuk terselenggaranya tertib administrasi pertanahan
Asas-asas Peraturan Pemerintah Republik Indonesai Nomor 24 tahun 1997, tentang pendaftaran tanah tersebut dimaksudkan untuk hal-hal sebagaimana dijelaskan dibawah ini, yaitu sebagai berikut:
1.    Asas sederhana;  dimaksudkan agar ketentuan – ketentuan pokok maupun prosedur dengan mudah dapat dipahami oleh pihak-pihak yang berkepentingan, terutama para pemegang hak atas tanah.
2.    Asas aman, dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa untuk menunjukkan bahwa pendaftaran tanah perlu diselenggarakan secara teliti dan cermat, sehingga hasilnya dapat memberikan jaminan kepastian hukum sesuai tujuan pendaftaran tanah itu sendiri.
3.    Asas terjangkau, dimaksudkan untuk keterjangkauan bagi pihak-pihak yang memerlukan, khususnya dengan memperhatikan kebutuhan dan kemampuan golongan ekonomi lemah.
4.    Asas mutahir, dimaksukan sebagai kelengkapan yang memadai dalam pelaksanaanya dan berkesinambungan dalam pemeliharaan datanya. Data yang tersedia harus menunjukkan keadaan mutahir.
5.    Asas terbuka, dimaksudkan untuk memberikan informasi kepada masyarakat agar dapat memperoleh keterangan mengenai data mengenai pertanahan yang benar setiap saat (Sembiring, 2010: 23).
Pelayanan pendaftaran tanah dan termasuk pemberian hak milik formal berupa sertifikat tanah. Menurut Bosu (1997: 10) bahwa, di dalam hukum agraria pengertian sertifikat pada dasarnya merupakan abstraksi dari daftar umum hak atas tanah dan merupakan satu-satunya pembuktian formal hak atas tanah; atau dengan kata lain dapat dikatakan bahwa sertifikat merupakan turunan atau salinan dari buku tanah dan surat ukur. Sedangkan daftar umum  didalam rangka pendaftaran tanah terdiri dari daftar tanah; daftar nama; daftar buku tanah; dan daftar surat ukur yang merupakan hasil kegiatan inventarisasi (pendaftaran tanah) Desa demi Desa atau sporadis dalam rangka pelayanan masyarakat. Selanjutnya buku tanah adalah kumpulan data mengenai objek dan subyek hak, asal hak; sebab-sebab peralihan hak dan lain-lain mengenai sebidang tanah. Surat tanah adalah akta authentic yang secara jelas menguraikan objek hak atas tanah, letak, luas, tanda dan petunjuk batas dan sebagainya (klangsiran). Gambar tanah dapat diperoleh melalui kutipan peta tanah (krawangan).
Selanjut manfaat sertifikat menurut Bosu, menurut ketentuan perundang-perundangan dan kebijakan pemerintah dalam penerbitan sertifikat ini, pada hakekatnya dimaksudkan untuk:
a.    Memberikan kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah baik oleh manusia secara perorangan maupun oleh suatu badan hukum.
b.     Memberikan bukti autentik bahwa orang yang tercantum namanya dalam sertifikat tersebut adalah pemegang hak sesungguhnya.
c.    Memberikan kepastian mengenai subyek dan objek hak atas tanah serta status hak atas tanah tersebut.
Meskipun dalam UU dan peraturan pemerintah telah diatur tentang kepastian hukum, menjamin hak milik pribadi dan badan, keamanan dan keamanan bagi pemilik tanah, dalam praktik masih banyak persoalan yang muncul untuk menunjukkan terganggunya kepuasan warga Negara dalam memperoleh haknya pada pelayanan publik. Berikut dengan meminjam pendekatan SWOT dan PESTELI dari tulisan Bill Hollins dan Sadie Shinkins (2006), untuk mengkaji berbagai faktor dan keunggulan, serta peluang dalam layanan pendaftaran tanah, sebagai berikut.
Analsis SWOT (Strengths, Weaknesses, Opportunities, Threats)  dan PESTELI (Political, Economic, Social, Technological, Environmental, Legislative, Industry), di bidang pelayanan Pendaftaran dan Pensertifikatan Tanah seperti berikut ini:
Strengths (kekuatan):
-         Didukung oleh UUPA 1960 dan UUD 33 Ayat 3, dan beberapa UU dan peraturan pemerintah lainnya;
-         Memiliki lembaga layanan sampai pada tingkat kecamatan dan dibantu lembaga-lembaga lain seperti notaris; dan
-         Bantuan teknologi dan informasi memungkinkan memudahkan pelayanan secara massal.
Weaknesses (kelemahan):
-         UUPA perlu pelaksanaanya ditingkatkan pada setiap lembaga layanan pertanahan, petugas belum professional dan biaya tinggi;
-         Pergantian kepemiminan mempengaruhi perubahan system layanan pensertifikatan yang lebih banyak bernuansa merugikan pihak-pihak berkepentingan;
-         Pemahanan masyarakat tentang hak-hak atas kepemilikan sertifikat dan pemanfaatan hak atas tanah masih rendah;
-         Masyarakat belum memiliki pandangan yang cukup tentang hak tanah, sebagai sarana produksi yang  bisa diupayakan secara luas dalam mendukung kemampuan secara politik, ekonomi dan social, bahkan kultur; dan
-         Tidak memiliki lembaga khusus yang dapat menyelesaikan kasus tanah akibat kesalahan penerbitan sertifikat maupun kasus lainnya yang diakibatkan kelalaian layanan di bidang pertanahan.
Opportunities (peluang):
-         Belum semua tanah tersertifikat, memungkinkan peningkatan pajak bumi dan bangunan yang telah diserahkan pemungutannya pada Pemerintah Daerah;
-         Prospek bisnis tanah dan property berpengaruh pada peningkatan pelayanan atas pengurusan kepemilikan tanah;
-         Tanah – tanah tidak produktif perlu diinventarisasi dengan jelas sehingga penerapan  biaya dan pajak dapat dilakukan secara proporsional; dan
-         Pertambahan penduduk memerlukan wilayah pemukiman yang luas, menjadi tantangan dalam mengatur dan menentukan penggunaan lahan masyarakat, menjadi obyek layanan yang menarik dan berisiko terjadi banyak permasalahan pertanahan;
Threats (Tantangan):
-         Kepemilikan yang tidak jelas menjadi obyek sengketa;
-         Pengaruh geopolitik internasional, memungkinkan kepemilikann tanah oleh orang asing, dapat menimbulkan keterdesakan penduduk pribumi, bisa menimbulkan konflik baru.
-         Sumberdaya manusia yang kurang professional dapat menghasilkan produk layanan yang tidak dapat menjamin kepastian hokum bagi masyarakat dan rawan terhadap terjadi konflik.
-         Pemahaman masyarakat tentang hak milik dan penghargaan hak milik menimbulkan perilaku yang brutal, penyerobotan dan tidak mengakui hak perorangan, badan maupun Negara.
Selanjutnya faktor-faktor yang menjadi perhatian dalam penggunaan dan pendaftaran tanah berdasarkan akronim PESTELI (Political, Economic, Social, Technological, Environmental, Legislative, Industry) sebagai berikut:
1)   Political factors (faktor politik): tanah dapat dianggap sebagai identitas kehormatan dan kekuasaan, dimana sering memicu komplik baik antar pribadi, kelembagaan dan antara masyarakat dengan pemerintah.
2)   Economic factors (faktor ekonomi): tanah sebagai alat produksi, hak milik, hak guna pakai, hak bangunan dan hak sewa, dan mengandung nilai ekonomi yang tinggi.
3)   Social factors (faktor sosial); tanah sebagai hak ulayat, tempat tinggal, hubungannya dengan waris, hubungan sosial, tempat penyelenggaraan kegiatan keagamaan, hubungan kekerabatan, status dan prestise.
4)   Technological factors (factor teknologi); tanah perlu dikelola dengan teknologi tepat guna, dapat mendorong kemajuan secara ekonomi, sarana produksi bernilai komersial dan investasi.
5)   Environmental factors (faktor lingkungan); menciptakan kegiatan ramah lingkungan, pengaturan tata ruang penggunaan tanah, serta tidak memunculkan dampak lingkungan alamiah maupun social.
6)   Legislative factor (faktor legislasi); konflik kepentingan diatur melalui upaya-upaya legislasi, penguatan hak milik, pemetaan serta penyusunan tata ruang publik.
7)   Industry factor (industry); dapat dikembangkan dalam investasi, bisnis property dan reteal, yang menjanjikan di masa mendatang.

5. Hambatan dan Rekomendasi Penyelesaian Pendaftaran Tanah
Meskipun telah digariskan dalam UU dan peraturan dalam upaya pendaftaran tanah sebagai dimensi layanan publik tetap mengalami berbagai hambatan. Para pelayan publik enggan melakukan perubahan disektor publik untuk menghasilkan untuk menghasilkan layanan yang berkualitas. Resistensi perubahan ini menurut tulisan Doherty dan Horne disebabkan beberapa hal di bawah ini:
1)   Kepatuhan terhadap birokrasi 'kebiasaan' yang berkaitan dengan peraturan delegasi, legalisme prosedural; perlunya kehati-hatian dan keamanan: skeptisisme sering menjadi perdebatan manajemen;
2)   Karena berbagai tingkat kesulitan kewenangan, akuntabilitas dan pelaporan;
3)   Kecenderungan untuk mendorong pengambilan keputusan atas. Hal ini bertentangan dengan pendekatan untuk meningkatkan pengawasn diri dan pengendalian diri;
4)   Keterkaitan dengan kepentingan banyak pihak;
5)   Konflik kepentingan, agenda, aliansi, struktur penghargaan dan nilai-nilai;
6)   Dukungan dana untuk program manajemen perubahan sulit untuk diperoleh. Pendanaan untuk konsultan terbatas karena banyak orang harus menyetujui pengeluaran (Doherty & Horne, 2002: 41)
Beberapa hambatan yang dihadapi dalam upaya pendaftaran tanah dari hasil temuan Untoro (2009) adalah sebagai berikut:
1)   Batas-batas tanah yang dimiliki warga sering tidak jelas dan keadaan tanah tersebar di wilayah yang luas;
2)   Perubahan kepemilikan tanah sering tidak dilaporkan kepada pejabat berwenang;
3)   Tanda kepemilikan tanah sering dinyatakan hilang oleh masyarakat;
4)   Tidak adanya anggaran yang cukup pada peerintah untuk mendukung pelaksanaan pendaftaran tanah secara sistematik; dan
5)   Terbatasnya alat dan  sumber daya manusia serta tenaga ahli yang betul-betul mempunyai kemampuan dalam bidang pertanahan secara sistematik.
Jean Hartley menyebutkan bahwa dalam hal mencapai layanan berkualitas maka para pelaksana layanan publik harus “changing attitudes to authority, have also shifted the standards by which public services are judged by both the public and the media” (perubahan sikap pada otoritas, merubah standar  pelayanan publik mengacu pada apa yang dinilai baik oleh publik dan media) (Hartley et all, eds., 2008: 11). Keterlibatan masyarakat juga sangat penting dalam memperbaiki kinerja pelayanan publik dibidang pendaptaran tanah, seperti disampaikan oleh Klijn (dalam Calabro, 2011: 71) bahwa keterlibatan  citizen sebagai berikut through participatory citizenship in the government of complex issues like the delivery of public services” (dengan menjadi warga partisipatif di berbagai isu dalam pemerintahan yang kompleks seperti pelayanan publik). Hal ini diperlukan dengan kesadaran masyarakat yang tinggi, maka pengawasan terhadap kinerja BPN, upaya upaya praktik kolusi, nepotisme dan korupsi dapat dicegah, serta masyarakat dengan sadar akan mendaftarkan tanahnya.

Rekomendasi:
1)          Memberi informasi yang luas pada masyarakat dalam meningkatkan kesadarannya untuk pendaftaran dan pensertifikatan tanah perlu dilakukan secara terus menerus bekerjasama dengan pihak-pihak terkait dan berkepentingan;
2)          Adanya perubahan sistem pelayanan dengan memutus birokrasi yang berbelit-beli di Badan Pertanahan Nasional;
3)          Pengadaan dan pengaktifan lembaga ombudsman guna dapat mencegah permasalahan tanah dan dampak konflik yang ditimbulkan oleh kesalahan dalam pembuatan dokumen pertanahan.
4)          Pembebasan biaya tambahan yang dikenakan pada masyarakat yang terkena musibah kebakaran, bencana maupun kerusuhan sosial, seperti kasus pembakaran kantor di Kabupaten Buleleng dan kasus tanah adat di Lemukih.
5)          Pembebasan biaya bagi masyarakat miskin, untuk mendaftarkan hak miliknya, sesuai dengan pendapat Jocelyn C. Cuarresma yang mengatakan “specific service commitments to improve service delivery to the poor and low income household in the service area… coverage and enabling the poor to have acces” (Minogue & Carino, 2006: 258);
6)          Pelaksanaan system pembayaran dan pelaporan pendaftaran tanah secara transfaran dan terpublikasi secara periodik untuk mencegah adanya pungutan liar;
7)          Tanah-tanah warisan dan hak ulayat desa adat cukup dilaporkan kepada pejabat pemerintah di tingkat bawah apabila tidak ada proses jual beli, yang melibatkan hukum nasional;
8)          Pembiayaan pendaftaran tanah rumah penduduk miskin, perlu dibebaskan atau disubsisdi;
9)          Pemerintah daerah perlu memiliki Peta Dasar tentang objek tanah penduduk yang sudah mendapatkan hak milik maupun belum memiliki.
10)    Peningkatan kerjasama dengan pihak-pihak terkait baik dalam sosialisasi, maupun pelaksanaan pendaftaran tanah untuk menghindari sengketa-sengketa tanah di masa yang akan datang terutama yang melibatkan obyek yang luas dan besar, seperti asset Negara, asset desa adat dan perusahaan swasta maupun pemerintah.
11)    Segera mencari solusi terhadap persengkataan atas tanah baik perorangan, melembaga, secara massa maupun sengketan yang melibatkan pemerintah.

6.    Kesimpulan
Dalam pelayanan pendaftaran tanah menjadi bagian dari layanan publik pemerintah masih perlu ditingkatkan kualitasnya, dengan menyusun rencana strategis pemerintah melalui Badan Pertanahan Nasional, serta peningkatan komitmen pelaksanaan terhadap undang-undang dan peraturan lainnya, serta visi dan misi yang telah disusun sebelumnya. Upaya peningkatan kesadaran masyarakat untuk mendaftarkan tanahnya dan berpartisipasi aktif dalam layanan publik pemerintah, akan menghasilkan layanan yang akuntable, transfaran, memenuhi standar kualitas yang diharapkan, rendah biaya dan dapat menjamin kepastian hukum hak milik, serta mencegah konflik atas tanah secara luas. Pembekalan profesionalisme aparat dalam penyelenggaraan layanan publik, dapat meningkatkan pemahaman dan komitmen pelaksana pelayanan publik pada kualitas layanan.

Daftar Pustaka
Bevir, Mark, 2011. Governance.  Sage Publication, California.
Bosu, Benny, 1997. Perkembangan Terbaru (Tanah, Tanggungan, dan Conduminium). Jakarta: Departemen Pekerjaan Umum.
Boyne, George A, eds., 2006. Public Service Performance: Perspectives on Measurement and Management. Cambridge Unversity Press , New York.
Butarbutar, 2010. “Jumlah Kasus Konflik Tanah Meningkat”. Pikiran Rakyat. Rabu, 26/05/2010 - 15:42.
Calabro, Andrea, 2011. Governance Structures and Mechanisms in Public Service Organizations: Theories, Evidence and Future Directions. Springer-Verlag Berlin.
Chrysantini, Pinky, 2007. Berawal  Dari tanah Melihat ke dalam Aksi Pendudukan Tanah.Bandung: AKATIGA Pusat Analisis Sosial.
Den Hardt, JU & RD Denhardt, 2007. The Public Service Serving Not Steering.  ME Sharpe, New York.
Doherty, Tony L, & Terry Horne, 2002. Managing Public Service: Implementing Change. Routledge, London and New York.
Farazmand, Ali, ed., 2002. Administrative Reform in Developing Nations. Praeger, London.
Goenawan, Kian, 2009. Panduan Mengurus Sertifikat Tanah dan Property Praktis.   Yogyakarta: Best Publisher.
Hartley, Jean, et all, Eds.,  Managing to improve public services. Cambridge University Press, New York.
Hood, Christopher & Martin Lodge, 2006. The Politics of Public Service Bargains: Reward, Competency, Loyalty—and Blame. Oxford University Press. New York.
Joewono, Benny N, 2010. “Konflik Adat Lemukih Hanguskan 30 Rumah” . Kompas. Jumat, 22 Oktober 2010.
King, Cheryl Smrell & Camilla Stivers, 1998. Goverment is Us: Public Administration in an Anti Government Era. Sage Publication, New Dehli.
Minogue, Martin & Ledvina Carino, eds., 2006. Regulatory Governance In Developing Countries. Edward Elgar, UK Northamton.
O’Toole, Barry J, 2006. The Idea Of Public Service: Reflections on the Higher  Civil Service in Britain. Routledge. New York.
Osborne, Stephen P. &  Kerry Brown, 2005. Managing Change and Innovation in Public Service Organizations . Routledge, New York.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesai Nomor 24 tahun 1997, tentang pendaftaran tanah.
Ratnasa,I Gede Sukardan, 2010.  “Investigasi raster Kasus Lemukih Berawal dari ''Landreform''. Bali Post. 29 Oktober 2010.
Santosa, Budi, 2008. Profit Berlipat dengan Berinvestasi Tanah dan Rumah,  Jakarta: PT Elek Media Kompu Indo.
Sembiring, Jimmy Joses, 2010. Panduan Mengurus Tanah.  Jakarta Selatan: Trasmedia Pustaka.
Suryanti, Sri, 2009. “Kinerja Aparat Pelayanan Pada Kantor Pertanahan Kota Semarang”. Dalam Tesis. Program Pascasarjana Universitas Diponegoro.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2008 Tentang  Ombudsman Republik Indonesia.
Untoro, Ayub Firtnanda, 2009. “Tinjauan Kritis Pendaftaran Tanah Sistematika melalui Land Management and Policy Development Program di Kecamatan Balapulang Kabupaten Tegal”. Dalam Tesis. Semarang: Program Studi Magister Kenotariatan Pasca Sarjana Undip.
Wallace, Mike, et all, eds., 2007. Managing Change in the Public Services. Blackwell Publishing, Victoria

Tidak ada komentar:

Posting Komentar