(Staf Pengajar Program Studi Ilmu Administrasi Fisip Universitas Panji Sakti)
(Locus Majalah Ilmiah Fisip Vol 3 No. 1- Agustus 2014,
hal 1-15)
Abstracts
The agricultural sector has becoming a major supporting factor of the
Indonesian development sector. This assumption is growing because most people
live from agriculture. However, it does not impact on the people welfare, in
which the development of the tourism sector and the industry sector of
agricultural land result on decrrease of the land and the welfare of farmers,
lack of concern towards agricultural policy in Bali. By adopting a system of
agriculture that is applied in Saudi Arabia particularly in water management
and management of agricultural resources, there are some recommendations that
could be offered in the field of agricultural policy reform among others: (1)
changing in assumptions and policies directly focused on Bali Society of
Agricultural Institute; (2) Strengthening and protecting farmers; (3) empowering
farmer and Community-Based Management; (4) Increasing competitiveness; and (5)
strengthening and developing networks for Farmers. The presence of agricultural institutions (Subak) can be reliable in dealing with
agricultural issues in Bali, but the current strength seems no longer effective
because of the pressures of globalization, government policy, and the existence
of private sector and the effects of the tourism policy. Subak is no longer only used for agriculture, but also has been
expanded, so that is no longer able to focus on agricultural activities. Therefore,
it needs to be reformed in the management of Subak, which is able to increase
its capacity and become a leading institution in the competition for the
farmers as well as able to bring farmers to the competitive rivalry.
Keywords: Public Policy, Policy Reform, Subak
1.
Pendahuluan
Perubahan-perubahan ditataran kebijakan
pemerintah nasional maupun daerah telah mencapai tataran reformasi yang
mendasar, seperti misalnya pelaksanaan pemerintahan yang sentralisasi kepada
sistem pemerintahan otonomi daerah dengan dikeluarkannya UU Otonomi daerah 22
tahun 1999 sampai dengan UU 25/2099, perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah dan
UU 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Termasuk juga reformasi di bidang
pertanian melalui beberapa kebijakan penting baik langsung maupun tidak
langsung menangani pertanian seperti: UU no 5 tahun 1960 tentang UUPA; UU Nomor
41 tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan
(PLPPB); PP no. 43 tahun 2008 tentang Air Tanah; PP RI No.1 tahun 2011 tentang
Penetapan dan Alih Fungsi Pertanahan Pangan Berkelanjutan, yang mana kebijakan
ini mendukung asumsi bahwa sektor pendukung utama pembangunan dan perekonomian bangsa
Indonesia adalah hasil pertanian. Namun demikian keberuntungan tidak selalu
berpihak kepada masyarakat petani, dan hasil reformasi di segala bidang belum
mampu mensejahterakan dan memberi pelayanan yang terbaik bagi masyarakat
sebagai citizen’s.
Menyebut persoalan pertanian, Bali juga
dalam mendukung sektor pariwisata sebagai handalan sebagian besar didukung oleh
sektor pertanian secara luas, peradaban dibidang pertanian di Bali sebenarnya
telah mengalami pemikiran yang sangat maju sejak pendahulu-pendahulu di bidang
pertanian. Dengan diciptakannya subak (sistem pengairan melalui manajemen
penggunaan air) telah dilakukan sejak air masih melimpah dan sektor pertanian
masih belum berkembang pesat (jumlah sawah dan petani masih terbatas). Dari
subak juga tercipta ornamen peradaban yang lain kehidupan gotong-royong,
upacara adat keagamaan dalam pengelolaan sektor pertanian, tata ruang
persawahan (teras sering), alur sungai (DAS) yang lestari menjadi daya tarik
tersendiri bagi sektor pariwisata. Akan tetapi seiring dengan perkembangan pariwisata
yang pesat, pemukiman penduduk semakin padat, memberi ekses yang tidak baik
bagi perkembangan Bali ke depan. Berbagai persoalan muncul komplik, terorisme,
bahkan hal ini juga memberi dampak yang signifikan pada sektor pertanian. Pertambangan batu
karang tanpa aturan untuk pembangunan hotel dan perluasan airport, abrasi
pantai; peningkatan sampah plastik, limbah dan polusi udara; salinasi pada air
bawah tanah; pengambilan air pertanian untuk dijual ke hotel dan lapangan golf;
konversi lahan produktif – seringkali lewat tekanan dan intimidasi menjadi fasilitas
pariwisata; dan keterlibatan angkatan bersenjata dan pemerintah dalam
memfasilitasi proyek (Caroll Warren: 1996: 3).
2. Dampak Pembangunan Pariwisata Terhadap Kebijakan
Sektor Pertanian
Pariwisata yang maju semestinya memberi
dampak yang positif bagi masyarakat Bali, semisal mendapat konvensasi atas berkurangnya lahan-lahan pertanian.
Sektor pariwisata mestinya memberi kontribusi langsung pada pengelolaan pertanian,
apakah berupa CSR, jaringan pemasaran, penguatan sarana jalan pertanian,
saprodi dll. Namun yang dirasa oleh masyarakat petani adalah malah sebaliknya
lahan pertanian makin menyempit, pajak semakin meningkat, sumber air menjadi
terbatas terbagi antara sektor pariwisata, dan pemukiman, sampah dan limbah
industri yang merusak hasil pertanian. Kelembagaan subak andalan petani tidak
lagi dapat memberdayakan masyarakat petani, bahkan beberapa petani merasakan
terbebani dengan mekanisme subak, subak sudah lebih mengarah pada mekanisme
birokrasi layaknya birokrasi pemerintah, misalnya pengurusan pupuk bersubsidi,
pinjam meminjam permodalan, pengurusan bantuan lain, pembayaran pajak, pengaturan
air bahkan jual beli air terjadi di kelembagaan subak (semisal di subak lain
kekurangan air maka dia akan membeli air ke subak lain, atau subak menjual air
pada tanaman yang dikelola oleh pengusaha pertanian seperti anggur dan
tembakau). Secara umum air bagi petani di Bali sudah menjadi persoalan yang
meluas, dan sering menimbulkan komplik perebutan air antar subak, antar individu, subak dengan PDAM
seperti di Kabupaten Buleleng terjadi dari tahun 2005 sampai sekarang, antar
desa terutama air yang bersumber dari desa lain. Dalam pengelolaan pertanian ini, menurut
penulis perlu dicarikan jalan keluar melalui berbagai cara, termasuk
mereformasi kebijakan, dimana persoalan pertanian ini belum nampak dilakukan secara sungguh-sungguh
oleh pemerintah, maupun swasta lainnya. Reformasi kebijakan dibutuhkan baik
secara mendasar maupun perbaikan dalam
cara-cara pengambilan keputusan dan pelaksanaanya dengan melibatkan masyarakat,
People who are involved in decision making are
more likely to support those decisions and the institutions involved in making
and carrying out those
decisions (Denhardt & Denhardt, 2007: 50).
Dalam
kesempatan ini penulis akan sedikit membagi pengalaman yang menarik dari hasil
telusuran hasil penelitian bidang reformasi kebijakan pertanian di Arab Saudi.
Mengapa dikatakan menarik, seperti yang penulis bayangkan sebelumnya bahwa
negeri Arab Saudi adalah daerah gurun yang panas, dan tidak dibayangkan
terdapat daerah pertanian yang subur khususnya tanaman gandum, yang mampu
menjadi swasembada pangan bahkan menjadi eksportir bahan roti tersebut,
pembahasan lebih lanjut pada sub judul berikutnya. Reformasi dibidang pertanian
yang besar, memerlukan campur tangan pemerintah sebagai contoh pertanian modern
diterapkan di Arab Saudi bahwa pertanian modern membutuhkan
infrastruktur sendiri: mesin,
gudang, peralatan pengeringan
padi, gudang penyimpanan pupuk/hasil panen, fasilitas penyimpanan
bahan bakar, perbaikan peralatan dan layanan pemeliharaan, peralatan pengeboran
sumur, pompa irigasi, dan energi untuk menyalakan pompa, subsidi pembelian hasil pertanian saat panen
raya guna mempertahankan harga hasil pertanian.
Seiring dengan itu Pasaribu (2010:37) berpendapat sasaran skema yang
dapat menjamin pertanian di Indonesia seharusnya pemerintah melakukan beberapa
langkah sebagai berikut:
(a) to
encourage farmers to increase production by reducing the risks involved in
higher costs associated with the use of new improved modern technology; (b) to
provide cover to the rice farmers against crop losses due to natural causes, so
that they are able to fulfill essential needs, including food for the family;
(c) to provide financial stability and confidence in the farm sector, and
thereby reduce the migration of farmers or workers to urban centers; (d) to
ensure the recovery of loans of government or other lending agencies in the
times of crop failure; and (e) to facilitate the government to budget the
assistance to farmers as a part of continuing annual program rather than being
faced with ad hoc emergency programs,
often hurriedly planned and financed, which are difficult to administer and are
prone to inequities and local pressures.
Selanjutnya untuk memberi dampak yang
positif pada petani tidak hanya diperlukan perubahan kebijakan kebijakan-pertanian, tetapi juga pada struktur yang terintegrasi dengan
kebijakan energi, transportasi,
perbankan, pemukiman dan penduduk, pendidikan, kesehatan dan air bersih, masing-masing yang secara langsung maupun tidak langsung dapat mempengaruhi
keamanan, kesejahteraan masyarakat petani. Upaya yang luas dan besar inilah
memerlukan tindakan reform secara serius dari pemerintah pusat maupun daerah (local goverment), guna menemukan
cara-cara baru, melibatkan teknologi baru dan inovasi sosial, melibatkan
institusi lokal petani dengan deliberate
creation (Styhre, 2007: 17). Serta kebijakan pertanian mendukung
keseluruhan aktivitas petani dan keluarga petani seperti apa yang disampaikan
Woodward dkk (2008: 241), “Simulation
models for farming systems could legitimately view the purpose of a farming system
as being: generating a return on an
investment;stewarding a country’s natural resource; buying votes with subsidie;
providing jobs; turning unused land into
productive land; creating a home for families to live and work; in providing an
income for farm families and consuming agrochemicals.
3.
Belajar dari Reformasi Kebijakan Pertanian
Sumber Daya Air
Berkelanjutan di Arab Saudi
Sektor Pertanian di Arab Saudi telah mencapai perkembangan yang pesat dan ekspansi yang luas, serta mencapai swasembada di sejumlah tanaman pertanian termasuk gandum, fodders
(makanan hewan), kurma, beberapa sayuran dan buah-buahan. Pemerintah Arab Saudi telah merumuskan dan melaksanakan sejumlah reformasi kebijakan untuk konservasi,
pemanfaatan optimal dan pembangunan berkelanjutan sumberdaya alam Kerajaan. Penelitian ini berfokus pada dampak potensial di masa depan pada konservasi sumberdaya alam dan perencanaan strategis akibat reformasi kebijakan (Council of Ministers-CoM)
tentang Pengelolaan Sumber Daya
Air dan Konservasi (Keputusan No 335)
yang dikeluarkan pada September 2008.
Secara
rinci Pemerintah Saudi telah mengambil sejumlah tindakan untuk mencapai tujuan yang ditetapkan dalam rencana ini adalah sebagai:
(1)
Pelaksanaan jadwal irigasi yang efektif di tingkat petani untuk memberikan air irigasi sesuai kebutuhan tanaman sebenarnya, yang diharapkan dapat menghasilkan penghematan air setidaknya 30 sampai
35%;
(2) Penggantian system irigasi permukaan dengan sprinkler dan mikro-sistem irigasi;
(3) Pergeseran dari beberapa daerah pakan ternak dan deretan zona konsumsi air yang tinggi ke zona konsumsi air yang lebih rendah dan budidaya tanaman dengan kebutuhan air yang lebih rendah;
(4) Pengenalan meter air pada petani untuk mengontrol pemompaan air.
Selama tahun 2007, pemerintah Saudi
melakukan perubahan besar dalam kebijakan pertanian ketahanan pangan (self-sufficiency)
melalui gandum dan produk pertanian
lain) dalam mendukung pembangunan berkelanjutan sektor pertanian.
Oleh karena itu, pada 11 September 2007 G (1428/9/11 H), Kabinet Ministers 1
menyetujui Keputusan No 335 sebagai kerangka reformasi kebijakan penting yang diusulkan, mengandung
21 langkah (artikel) terkait dengan:
pengaturan air dan konsumsi; harga pertanian, perdagangan dan pasar; jasa pertanian, teknologi irigasi;
reformasi administrasi publik; distribusi tanah (akses) dan pembangunan berkelanjutan sumberdaya alam dari Kerajaan.
Reformasi ini dilanjutkan dengan skenario
kebijakan sebagai berikut:
(1) Proyeksi Irigasi Gandum Skenario-I
didasarkan pada sejarah Ketahanan Pangan
(Swasembada) Kebijakan yang merupakan (100%) permintaan gandum harus dipenuhi dari produksi gandum local dengan impor diabaikan (nol).
(2) Proyeksi Irigasi Gandum Skenario-II berdasarkan pada Reformasi Kebijakan Pertanian baru termasuk fase-keluar dari lokal irigasi gandum dirumuskan dalam Keputusan CoM # 335 untukkon servasi air tanah.
Analisis potensi masa depan pembangunan pertanian di Kerajaan Arab Saudi dengan bantuan dari sejumlah
parameter (variabel) teknis dan ekonomi
dan indikator kinerja dilakukan oleh Departemen Pertanian dan Air selama tahun 2001. Reformasi kebijakan akan membantu untuk mempromosikan langkah-langkah yang lebih efisien untuk mengelola air yang
langka dan tanah pertanian secara berkelanjutan.
Reformasi ini juga akan membantu dalam memecahkan isu-isu utama termasuk perubahan kelangkaan
air, kualitas air memburuk, meningkatnya biaya pembangunan irigasi dan rendahnya efisiensi irigasi.
4. Kondisi Eksisting Pertanian di Bali
Sebelum masuk pada usulan reformasi dan
rekomendasi kebijakan akan lebih, ditampilkan realitas Kebijakan Pertanian di
Indonesia, khususnya mengerucut pada persoalan di daerah Bali, untuk
selanjutnya pada bab berikutnya diungkapkan persoalan pertanian di Kabupaten
Buleleng. Menurut RPJPD Provinsi Bali Tahun 2005-2025, rata-rata pendapatan rumah tangga petani dari sektor pertanian hanya 33%
dari total pendapatannya atau sebesar Rp. 11.000 per hari. Hal ini disebabkan
karena luas lahan rata-rata yang
diusahakan oleh petani sangat sempit yaitu di bawah 0,5 ha. Selanjutnya peran sektor primer
atau pertanian terhadap PDRB Bali terus menurun hingga 20,65 persen, sedangkan
peran sektor tersier atau jasa pariwisata sebesar 64,43 persen (Suparta,
2011) dan menurut Kauripan (2010), angka statistik BI di mana
pertumbuhan sektor pertanian hanya 0,12 persen (hingga April 2010).
Berkenaan dengan penguasaan lahan semakin
sempit, yakni sekitar 0,38 ha per petani
(RPJPD Provinsi Bali Tahun 2005-2025), dari 563.686 Ha luas tanah di Bali, hanya 70,74 persen atau sekitar 398.491
Ha masih potensial untuk pertanian, perkebunan dan peternakan. Luas sawah hanya
81.210 Ha dengan luas panen mencapai 142.971 Ha. Luas lahan tersebut
digarap oleh 408.114 KK atau 2.221.392 orang keluarga tani yang didukung oleh
1.481 subak sawah dan 1.091 subak abian (Suparta, 2011). Fakta di
lapangan alih fungsi lahan ini menurut data Dinas Pertanian Propinsi Bali
berada pada kisaran minus 28 hektar per tahun. Artinya setiap tahunnya 28
hektar sawah telah menjadi rumah atau bukan lagi menjadi area pertanian (Anonim, 2011).
Selanjutnya rendahnya tingkat pendidikan
petani (lebih dari 80% petani hanya tamat SD atau tidak tamat SD, berdampak
pada penguasaan dan akses teknologi lemah, serta penguasaan informasi dan akses pasar
lemah. Ketidak stabilan harga hasil pertanian, akibat fluktuasi hasil pertanian
maupun tekanan pasar global, harga hasil pertanian berfluktuasi sangat besar
dan secara relatif masih sangat rendah (RPJPD Provinsi Bali Tahun 2005-2025). Sebagai dampak kondisi struktur
perekonomian Bali yang tak didukung dengan pertanian yang kuat akan hancur.
Gejala ini ditunjukkan Bali sangat tergantung pada daerah lain dalam
menyediakan berbagai komoditi pertanian. Tercatat 60 - 70 persen pasar di
daerah ini diisi komoditi pertanian dari luar Bali. Ini sangat ironis jika
melihat hampir 80 persen masyarakat Bali bekerja di sektor pertanian (Kauripan, 2010).
Disisi lain akses terhadap permodalan juga
sangat terbatas, akan sangat berpengaruh terhadap pendapatan keluarga petani. Tahun
2006, investasi di sektor pertanian hanya 0,37 persen, sedangkan sektor
pariwisata 94 persen. Sisanya 5,63 persen sektor industri (RPJPD Provinsi Bali Tahun 2005-2025). Persoalan lain yang terus menjadi tantangan dan banyak menimbulkan konflik
adalah keterbatasan, penurunan debit air. Bali menghadapi permasalahan
sumber daya air sangat serius. Debit sungai dan mata air menurun. Mata air di
Gebagan Bangli yang dijadikan sumber air PDAM Bangli sudah tak berair lagi.
Menurunnya air Danau Buyan dan Tamblingan, meningkatkan masalah kelangkaan air untuk irigasi, bahkan hampir
di semua kabupaten di Bali (Sutantra,
2009). Perlu dibentuk komisi irigasi dan dewan sumber daya air merujuk pada UU Nomor 7 tahun 2004
tentang Sumber Daya Air (Windia,
2010).
Cuaca alam dan pemanasan global juga
berdampak langsung pada keadaan petani di Bali. Seringnya terjadi bencana
dimusim hujan (merusak saluran irigasi) maupun di musim kemarau terjadi kekeringan,
jadwal musim tanam petani bisa berubah-ubah, dapat berpengaruh pada semangat
dan perencanaan para petani. Faktor-faktor penyebab alamiah lain seperti kebakaran hutan, bencana alam dan
perilaku manusia merupakan faktor yang paling determinan, terhadap peningkatan
degradasi sumber daya (Rosyadi, 2010)
Tabel
Matrik Perbandingan Kebijakan dan kondisi Eksisting
Pertanian Arab Saudi dengan Pertanian
di Bali
Uraian
|
Arab Saudi
|
Pertanian
Bali
|
Keterangan
|
|||
(1)
|
(2)
|
(3)
|
(4)
| |||
Kebijakan
|
Pengelolaan
Sumber Daya Air dan Konservasi (Kep. No
335); pengaturan air dan konsumsi;
harga pertanian, perdaga-ngan dan pasar;
jasa pertanian, teknologi irigasi; reformasi administrasi publik; distribusi tanah
(akses) dan pembangunan berke-lanjutan sumberdaya alam dari Kerajaan
|
UU No. 5 tahun 1960, UUPA; UU Nomor 41 tahun
2009 tentang (PLPPB); PP no. 43 Th 2008, ttg Air Tanah; PP RI No.1 tahun 2011, Penetapan dan Alih Fungsi
Pertanahan Pangan Berkelanjutan; UU Nomor 7 tahun 2004 tentang Sumber
Daya Air; Perda no.2/1972 Tentang
Irigasi
|
Di Arab
Saudi satu produk kebijakan menangani secara komprehensif; sedangkan di
Indonesia (Bali) produk kebijakan lebih dari satu namun bersifat parsial
kurang fokus terkesan darurat
|
|||
Realisasi Kebijakan Bidang Pengairan
|
1. Pelaksanaan jadwal irigasi yang efektif di tingkat Petani.
2.Penggantian sistem irigasi permukaan dengan
sprinkler dan mikro-sistem irigasi
3.Pergeseran peternakan dan
pertanian dengan konsumsi air yang tinggi ke zona konsumsi air
yang lebih rendah
4.Pengenalan meter air pada petani untuk mengontrol pemompaan
air
|
1.Jadwal
irigasi di atur oleh Subak dibagi 2 : gadon (penggunaan air secara penuh) dan
Kertamasa (penggunaan air sisa dari gadon)
2.Saluran
irigasi langsung dari DAS
3.Pola
penggunaan air tidak berubah, tetap dalam konsumsi yang tinggi
4.Pembagian
air dengan sistem tetek (kayu
dengan ukuran lxt = 15 cm x 10 cm utk 1 ha; 15 cm x 5 cm utk < ½ ha
|
Di Arab
Saudi dengan system pertanian modern; tidak ada pelanggaran jadwal;
penggunaan meteran air yang pasti tidak berubah sesuai dengan rekomendasi
tentang kebutuhan air per ha; semakin lama semakin efisien penggunaan air.
Di Bali
tradisional; kebocoran saluran irigasi dan pematang sawah; pelnggaran jadwal;
tidak ada pemamtauan pemerintah; ukuran tetek sering berubah
|
|||
Kondisi Alamiah
|
Kering
bergurun pasir; tetapi arial tanaman bertambah setiap tahun
|
Basah
banyak sumber air; terjadi pengurangan lahan pertanian 0,38 ha/tahun
|
Di Arab
Saudi selalu menciptakan sumber air terbarukan (air laut; tadah air hujan dg
system penampungan; dan menggali sumber air fosil.
Di Bali
tidak ada pembaharuan; tidak ada penanganan banjir/sampah; terdesak oleh
pemukiman, pariwisata dan sektor lainnya
|
|||
Penguatan Petani
|
Selain
mengatur penggunaan air; juga reformasi termasuk penanganan teknologi; harga
dan permodalan petani; high self confidence
|
Petani
mencari solusi sendiri; lahan pertanian tidak dihitung sebagai barang modal;
harga hasil pertanian tidak stabil; subsidi petani tidak kontinu dan tidak
merata; tidak ada kebanggan jadi petani
|
Hasil
pertanian Arab Saudi memiliki nilai kompetitif yang tinggi; mahal di negeri
sendiri maupun ekspor.
Di Bali
tidak memiliki daya saing; meneton hanya pada produk yg bias dikerjakan;
sering mengimpor kebutuhan dalam negeri
|
|||
Diharapkan perubahan terjadi asumsi kebijakan yang semula berorientasi pada kepentingan
pemerintah, dengan asumsi kapitalis, jumlah besar, pembangunan secara
menyeluruh dan mengikuti trend perkembangan pertanian di dunia maju, lebih pada
asumsi pilihan publik (Ekelund, JR, 2010) mengacu pada kebutuhan masyarakat
petani subak dengan ciri: teknologi sederhana, berbasis kultur, penyelenggaraan
program persektor, lebih banyak melibatkan petani, dan menyesuaikan dengan
kesediaan waktu dan kemampuan petani, serta peningkatan pengetahuan petani.
Beberapa landasan teori yang dapat menjadi pertimbangan sebagai berikut. Pertama, perubahan asumsi kebijakan dan langsung
terfokus pada Lembaga Pertanian Masyarakat Bali atau subak. Subak memiliki berbagai peran, fungsi, dan kegiatan
antara lain (a) pencarian dan pendistribusian air, (b) pemeliharaan fasilitas
irigasi, (c) mobilisasi sumber dana, (d) penanganan administrasi subak, (e)
penanganan konflik yang dihadapi subak, dan (f) kegiatan ritual atau keagamaan
(Anonim, 2007). Revitalisasi
menyesuaikan peranan kembali subak sesuai
Perda 2/1972 tentang Irigasi. Tugas lembaga ini lebih fokus pada pembinaan
subak, bukan sekadar mengumpulkan pajak bumi dan bangunan (Sutantra, 2009).
Belum terdapat Perda yang mengatur khusus penanganan masyarakat petani
maupun subak, bantuan selama ini digandengkan dengan produk kebijakan lain,
seperti Dinas Pariwisata; Peraturan
Menteri dalam Negeri nomor 3 Tahun 1997, tentang Pemberdayaan Adat Istiadat,
Kebiasaan-kebiasaan masyarakat dan Lembaga Adat di Daerah; Peraturan Bupati Buleleng nomor 40 tahun
2009, tentang besarnya tunjangan penghasilan Kelian Desa Adat/Pakraman dan
Kelian Subak Kabupaten Buleleng; Keputusan
Bupati Buleleng Nomor 142/219/HK/2011, tentang Penetapan Pemberian Bantuan
Kepada Desa Pakraman, Pemberian Tunjangan Penghasilan (insentif) kepada Kelian
Desa Pakraman, Kelian Subak dan Kelian
Subak Abian se-Kabupaten Buleleng. Kedua, Penguatan dan Proteksi
Petani. Model pendekatan tentang akses masyarakat terhadap
layanan publik (dalam Nurmandi, 2010) dan penguatan kebertahanan petani
terhadap dampak global “counteract the negative effects of technological
innovation and economic internationalization” (Compston, Hugh, 2009) dan perubahan
iklim (Ken Coghill and Colleen Lewis , 2010). Subsidi
bidang pertanian, pembatasan impor hasil pertanian, peningkatan pengetahuan dan
kemampuan teknologi petani masih sangat diperlukan, perlindungan tanah subur
petani misalnya dari dampak pengembang perumahan dan galian C (Penegasan peraturan
Daerah Provinsi Bali nomor 5 tahun 2007).
Ketiga, Pemberdayaan
Masyarakat Petani Berbasis Managemen Masyarakat. Empowered by a “social contract” from the people (Ghani, 2008) dan
community based resource management ( Korten dalam Nawawi, 2009), diperkuat
dengan pendapat sebagai berikut, “their interest in providing the collective
good grows and they are able to internalize a larger share of the costs. Given
a fixed sum game, as the interests of ‘‘big’’ users grows, by definition shares
for ‘‘small’’ users are reduced and they become more likely to free-ride (Ruttan,
2008: 9710). Secara bertahap prakarsa dan proses pengambilan keputusan untuk
memenuhi kebutuhan diletakkan pada masyarakat itu sendiri; kemampuan masyarakat untuk mengelola dan memobilisasi
sumber-sumber yang ditingkatkan; memperhatikan kondisi local; menekankan social learning antara birokrasi. Dimana dengan memanfaatkan perkembangan
teori baru masyarakat diperlakukan sebagai Citizen’s
dapat mewujudkan beberapa manfaat antara lain: respek terhadap masyarakat
dan ide mereka; pemikiran terbuka terhadap ide-ide, mendengar untuk memahami;
fokus pada amanat mempersiapkan; simple, jelas, konsis pada komunikasi;
melibatkan seluruh anggota secara sama; menghadirkan sikap positif dan
integritas, berikut disampaikan tulisan Smith sebagai berikut: assembly members committed themselves to: respecting people and their opinions; open-mindedness – challenging ideas not
people; listening
to understand; focus
on the mandate – preparedness; simple, clear, concise communication; inclusivity – all members are equal; positive attitude; and integrity. (Citizens’ Assembly on Electoral Reform 2004: 68 dalam Smith, 2009: 86). Namun selama ini masih mengacu pada kepentingan para pengambil kebijakan, misalnya pemberian pupuk
organik (tidak dipakai oleh petani), kebijakan impor sapi dan beras (merugikan
petani), penanganan proyek irigasi yang besar dan waktu lama (merugikan musim
tanam petani), pengenaan pajak tidak berdasarkan hasil pertanian dll.
Keempat, model Peningkatan Daya Saing (Nawawi, 2009): memanfaatkan
perkembangan borderless world economy,
dengan kesadaran yang semakin tinggi bahwa diperlukan peningkatan daya saing
melalui transformasi teknologi, peningkatan kualitas sumber daya manusia,
penguatan system informasi, modernisasi manajemen usaha, serta pembaharuan
kelembagaan, secara keseluruhan mengacu pada peningkatan efisiensi dan kualitas
layanan, produksi, dan distribusi barang dan jasa dalam pasar domistik,
regional, dan global. Kelima, Penguatan dan pengembangan
Jaringan bagi Petani. Komunitas
mengembangkan jaringan (net working)
antara birokrasi dengan Lembaga Swadaya Masyarakat (Korten dalam Nawawi, 2009) dan agen swasta lainnya. Penciptaan jaringan diseluruh sektor-sektor yang menghasilkan nilai publik
(Morse, 2007). Mendorong kebijakan yang memungkinkan pihak swasta dan lainnya
terlibat dalam menangani masalah petani.
Kesimpulan
Masyarakat petani
Bali memiliki institusi lokal yang disebut Subak yang dapat dihandalkan dalam
mengatasi masalah pertanian di Bali, namun saat ini kekuatannya tidak lagi
Nampak dapat dipertahankan oleh sebab berbagai tekanan globalisasi, kebijakan
pemerintah, pihak swasta dan berbagai dampak kebijakan pariwisata Bali berimbas
pada lembaga subak di Bali. Subak tidak lagi hanya difungsikan untuk pertanian,
tetapi sudah meluas, sehingga tidak mampu lagi fokus dalam kegiatan pertanian,
sehingga perlu dilakukan perubahan dalam pengelolaan subak, yang mampu
meningkatkan kapasitasnya dan menjadi lembaga terdepan dalam memperjuangkan
nasib petani serta mampu membawa petani ke arah persaingan kompetitif.
Upaya serius dalam penanganan kebijakan pertanian melalui
subak, dari
semua pihak sangat diperlukan secara serius, dengan memperhatikan kebutuhan
secara nyata dari masyarakat petani, mendekatkan teknologi sederhana, yang
mudah dipahami dan mudah diterapkan, menyesuaikan dengan kondisi tanah
pertanian. Disisi lain perlindungan yang kuat terhadap usaha petani juga sangat
mendesak perlu dilakukan, proteksi terhadap hak atas tanah subur petani, hak
atas penggunaan air yang lestari, dan penyiapan infrastruktur dalam mendukung
usaha tani, penanganan bidang permodalan dan tingkat pendidikan petani secara
berkelanjutan.
Daftar Pustaka
Al-Saud, M. I., 2010. Evaluation of Potential Impacts of
Agricultural Policy Reforms on Sustainability of Groundwater Resources of Saudi
Arabia. Oct. 2010, Volume 4, No.5 (Serial No.30) Journal of
Agricultural Science and Technology, ISSN 1939-1250, USA
Anonim, 2007. Revitalisasi
Subak Dalam Memasuki Era Globalisasi. Lentera Pusataka, Denpasar.
Anonim, 2011. Pertanian Adalah Nafas Pulau Bali. Denpasar,
28 Februari 2011 jadul1972.multiply.com/.../Pertanian_Adalah_Nafas.
Brown, Lester R, 2011. The New
Geopolitics of Food: Consumerism, Economics, Food Shortages, Global Warming/Climate
Change, Population, Society, peak oil . by Earth Policy
Institute April 28, 2011. http://permaculture.org.au
/2011 /04/28/the-new-geopolitics-of-food/
Caroll Warren: 1996. Menari Diatas Pijakan Rapuh
(Refleksi Keterdesakan Bali Dari Ekspansi Industri Pariwisata). Http://taman65.wordpress.com/2008 /08/30/menari-diatas-pijakan-rapuh-refleksi-keterdesakan-bali-dari-ekspansi
-industri-pariwisata/
Compston, Hugh, 2009.
Policy Networks and Policy Change
Putting Policy Network Theory to the Test. Palgrave Macmillan
Denhardt, Janet V & Robert B Denhardt, 2007. The New Public Service: Serving, Not
Steering. ME. Sharpe, Armonk New York
Ekelund Jr ,Robert
B,& Robert F. Hébert, 2010. Interest-group
analysis in economic history and the history of economic thought, dalam
Jurnal Public Choice Public Choice (2010) 142: 471–480 Department of Economics, Auburn University, 404 Blake St.,
Auburn
Ghani,
Ashraf, and Clare Lockhart , 2008. Fixing
Failed States A Framework for
Rebuilding a Fractured World.
Oxford University Press, Inc.
Ken Coghill and Colleen Lewis , 2010. Climate change and
sustainability post Copenhagen: addressing a knowledge gap:, the Paper of 28th
International Congress of Administrative Sciences, Nusa Dua Bali
Morse, Ricardo S. Et all.
Editor, 2007. Transforming Public
Leadership for the 21st Century. M.E.Sharpe
Armonk, New York London, England
Nawawi, H Ismail, 2009. Pembangunan dan Problem Masyarakat. Kajian
Konsep, Mode, Teori dan Aspek Ekonomi dan
Sosialisasi. CV Putra Media Nusantara, Surabaya
Nurmandi, 2010. Manajemen Pelayanan
Publik. Sinergi Visi Utama. Yogyakarta
Pasaribu, Sahat M., 2010. Developing rice farm insurance in Indonesia. Agriculture and
Agricultural Science Procedia 1 (2010) 33–41. Published by Elsevier B.V.
Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 6 Tahun 2009 Tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah
(RPJPD) Provinsi Bali Tahun 2005-2025
Rosyadi, Slamet, 2010. Paradigma Baru Manajemen Pembangunan. Penerbit Gava Media,
Yogyakarta
Ruttan, Lore M, 2008. Economic Heterogeneity and the
Commons:Effects on Collective Action and Collective Goods Provisioning.
World Development Vol. 36, No. 5, pp. 969–985, 2008 _ 2008 Elsevier
Styhre, Alexander, 2007. The Inovative Bureaucarcy: Bureaucarcy in an Age of Fluidity.
Routledge, Milton Park
Suparta,
Nyoman, 2011, Pembangunan
Sektor Pertanian Terpinggirkan Padahal Penyerap Tenaga Kerja Terbesar (Media Bisnis Bali, 15 Mei 2011)
Sutantra,
Nyoman. 2009. Harapan Mensinergikan Pariwisata dan Pertanian di Bali. ajegbali.org/taxonomy/term
09/25/2009
Windia, Wayan
2010. Banyaknya Kasus Rebutan Air
di Bali Perlu Dibentuk Komisi Irigasi Denpasar (Bali Post 15 Pebruari 2010)
Woodward, SJR, et all,2008. Better simulation modelling to support farming systems innovation:
review and synthesis. New Zealand Journal of Agricultural Research, 2008 Vol
51: 235-252. The Royal Society of New Zealand 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar