Oleh: Gede Sandiasa*
(Locus Majalah Ilmiah Fisip Vol 4 No. 1- Agustus 2015,
hal 11-31)
Ringkasan
Kesadaran masyarakat dalam rangka
mendaftarkan tanah, sebagai asset yang penting, masih sangat kurang, hal ini
dipengaruhi, pemahaman tentang fungsi tanah, selain sebagai tempat tinggal,
sebagai lahan pertanian yang subur, sebagai mata pencaharian, belum dipahami
sepenuhnya bahwa tanah merupakan sumberdaya yang terbatas, dan memiliki nilai
ekonomis yang tinggi. Disamping itu rumitnya persoalan yang timbul sebagai
akibat kekaburan hak milik atas tanah, prosedur yang berbelit-belit, petugas
yang tidak professional dan komitmen penjaminan hukum yang rendah atas milik
berpengaruh besar terhadap keinginan untuk mendaftarkan tanah. Kualitas layanan
publik menjadi sangat penting untuk dapat meningkatkan angka partisipasi
masyarakat dalam mendaftarkan tanah, selain itu kepentingan untuk mengembagkan
strategi layanan publik, sehingga visi dan misi layanan publik, dalam hal ini
BPPN dapat tercapai. Strategi merupakan totalitas keputusan manajemen yang menentukan
tujuan dan arah kelembagaan publik dan karena itu tujuan
fundamentalnya, kegiatan dan kebijakan itu memilih untuk mencapai tujuannya,
agar dapat “to improve the
‘efficiency’ of public service”. Rekomendasi bahwa
perlu dilakukan sosialisasi terus menerus, peningkatan kualitas dan
profesioanalisme sumberdaya aparatur pemerintah, penguatan komitmen pejabat
publik dalam menjamin kepastian hukum dan ha katas tanah.
Kata
Kunci: Layanan Publik, Pendaftaran
Tanah, kualitas layanan publik
*Staf Pengajar Fisip Universitas Panji Sakti
1.
Pendahuluan
Tanah dalam hidup masyarakat tidak sekedar lahan untuk bermukim, tetapi
identitas pertanda kekuasaan bagi berlangsungnya suatu generasi, bila surat
tanah belum dimiliki, anda harus mawas diri, bisa-bisa suatu saat tanah yang
anda tinggali diklaim sebagai milik orang lain (Goenawan, 2009). Demikian
pentingnya individu dalam suatu bangsa harus memiliki tanah, yang bisa
berdemensi ekonomi sebagai tempat melakukan usaha produktif, maupun memiliki
nilai ekonomi secara komersial, juga mengandung dimensi sosial, tempat bermukim
sebuah keluarga dalam membina kehidupan rumah tangga, bermasyarakat dan
melakukan kebudayaan, serta sebagai pencitraan dan alat keuasaan politik. Oleh
sebab itu hak kepemilikan menjadi penting dan harus jelas. Akan tetap dalam
pengurusan hak kepemilikan ini tidaklah begitu mudah dan penuh resiko.
Rumitnya persoalan agraria terjadi karena
kebijakan agraria berganti-ganti seiring pergantian kepemerintahannya, menurut
Wiradi (dalam Chrysantini, 2007)
kasus-kasus sengketa tanah yang terjadi di seluruh wilayah Indonesia
diakibatkan oleh kebijakan agraria pemerintah orde baru yang dipandang mendua.
Di satu sisi pemerintah Ode Baru menjadikan UUPA 1960 sebagai landasan hukum
yang sah terkait persoalan pertanahan, namun disisi lain banyak kasus
pertanahan ditangani berbeda dan melenceng dari semangat UUPA (Chrysantini,
2007: 8). Kondisi yang demikian berlangsung sampai saat ini, memandang persoalan
tanah menjadi permasalahan yang sepele, yang akibatnya menjadikan sengketa di
kemudian hari yang tidak jarang terjadi tindak kekerasan dan perampasan hak
atas tanah yang dapat dimenangkan oleh pihak-pihak tertentu, yang sebenarnya
bukan menjadi haknya. Ada beberapa kasus tanah yang menonjol dapat dilihat baik
dalam skala nasional maupun tingkat daerah sampai pada hak milik perseorangan
dapat diungkapkan, seperti kasus mesuji Lampung, kasus tanah di Serdang
Bedagai, bahkan dalam kurun 2007-2009 di Indonesia menurut Kasubdit Konflik Pertanahan BPN RI, Henry
Rustandi Butarbutar, pada 2007 jumlah laporan konflik tanah yang masuk ke BPN
RI hanya 2.615 kasus. Tetapi pada 2009, jumlahnya melonjak menjadi lebih dari
tujuh ribu kasus di seluruh Indonesia (Pikiran
Rakyat, 2010). Kasus di daerah juga tidak kalah pentingnya, seperti kasus tanah Lemukih terungkap dalam dialog interaktif
Radio Guntur 31 Desember 2010, diawali dengan upaya pensertifikatan tanah
ulayat (desa adat) pada tahun 1972-1974, lalu menjadi persoalan yang serius
mulai tahun 2003 dan pada tanggal 22 Oktober 2010 terjadi pembakaran 14 rumah
pemilik sertifikat (Kompas, 2010). Kasus tanah Lemukih berawal dari
sengketa tanah adat Lemukih 93 hektar. Dengan adanya aturan landreform
kepemilikan tanah dibatasi. Termasuk tanah Desa Lemukih dibatasi maksimal 30
hektar. Sisanya 66 hektar dimohon oleh penggarap tanah sehingga keluar
sertifikat hak milik (Ratnasa, 2010). Sampai kasus penolakan pelaksanaan Prona
(Program Nasional) sertifikasi massal dari masyarakat Desa Sudaji setelah
terjadi kasus pungutan liar aparat desa dari pelaksanaan Prona sebelumnya dan
juga kasus pungutan pelaksanaan Prona di Desa Ringdikit Kabupaten
Buleleng.
Lemahnya pengawasan terhadap pelaksanaan pendaftaran tanah, dan komitmen
dari aparat terhadap konsistensi pelaksanaan UU dan peraturan serta sumberdaya
manusia yang tidak professional mengakibatkan sejumlah persoalan di atas. Hal
ini didukung hasil penelitian tentang kinerja pelayanan publik pada Kantor
Pertanahan Kota Semarang menemukan hal-hal
sebagai berikut:
1. kinerja
pelayanan yang diberikan aparat Kantor Pertanahan menunjukkan hasil yang kurang optimal
2. Prosedur
melaksanakan tugas memberikan pelayanan masih kurang dipahami
3. Kurangnya
kinerja pelayanan akibat adanya sikap diskriminasi
yang melibatkan aparat.
4. Peraturan
belum bisa dilaksanakan secara konsisiten (Sri Suryanti, 2009)
Memperhatikan berbagai kasus pertanahan yang ada, ini menandakan
ketidakseriusan pemerintah dalam melaksanakan upaya pendaftaran tanah secara
benar, dan melibatkan partisipasi masyarakat secara maksimal. Dalam memperkecil
ruang sengketa kepemilikan tanah ke depan pemerintah utamanya Badan Pertanahan
Nasional mesti menyusun strategi pelayanan yang tepat, dimana masyarakat dan
pihak-pihak terkait terlibat di dalamnya secara penuh. Dimana strategi ini juga
di akui oleh Styre dapat memberikan nilai komersial dari lembaga bersangkutan:
partisipasi masyarakat meningkat, pencitraan lembaga menjadi lebih baik dan
dapat menghasilkan pendapatan Negara di luar pajak secara meningkat, berikut
pendapatnya “Strategically necessary over
time, with a reasonable rate of commercial success (Styre, 2007: 17).
2. Strategi
dalam Pelaksanaan Layanan Publik
2.1. Strategi
Pengembangan Organisasi
Strategi adalah perhatian terhadap dua hal
yaitu
lingkungan `eksternal 'dan masa depan`. Mintzberg (1994) menyatakan bahwa
`organisasi perlu memiliki kepekaan di mana organisasi bekerja dan kekuatan apa dari
lingkungan yang dapat membantu atau
menghalangi dalam mencapai tujuan perusahaan. Sedangkan Lynch (1997)
menyatakan bahwa `strategi cenderung pada perhatian terkait dengan kelangsungan hidup
bisnis sebagai tujuan minimum dan penciptaan nilai tambah sebagai tujuan
maksimal. Selanjutnya dengan pemaknaan yang hampir sama Bennett (1996) mendefinisikan
sebagai
`totalitas keputusan manajemen yang menentukan tujuan dan arah perusahaan dan
karena itu tujuan fundamentalnya, kegiatan dan kebijakan itu memilih untuk mencapai
tujuannya. Kesimpulan dari strategi adalah pernyataan tentang bagaimana organisasi
mengharapkan untuk mencapai misi dan tujuan, merupakan road
map (kerangka kerja) yang menguraikan bagaimana organisasi akan
mencapai tujuan tersebut, serta langkah-langkah yang perlu diambil
(Hollins and Shinkins, 2006: 74).
Dan selanjutnya akan dijelaskan berbagai hal tentang
Strategi layanan publik khusus yang diberlakukan pada perusahaan swasta memakai
sumber buku utama “Managing Service
Operations” dari Bill Hollins dan
Sadie Shinking. Mencoba untuk mengkritisi layanan publik dari sudut pandang
keberhasilan praktik layanan di sektor swasta. Dalam hal ini penulis
mengungkapkan berbagai persoalan layanan publik yang terjadi di Badan
Pertanahan Nasional, tat kala melayani pendaftaran tanah di Negara ini. Tujuan
utama menyusun misi ke depan agar bagaimana kostumer atau masyarakat yang
dilayani untuk tetap setia dan datang kembali pada pelayanan organisasi.
Strategi ini, disusun dari penelahaan dan pengkajian kelembagaan maupun
lingkungan, serta pelanggan melalui pendekatan SWOT (Strengths, Weaknesses, Opportunities,
Threats) atau PEST bahkan ditambahkan menjadi PESTELI
(Political, Economic, Social,
Technological, Environmental, Legislative, Industry). Dari dalam
kelembagaan sendiri harus mampu menunjukkan keunggulan kompetitif, yang dapat dicapai
melalui dua cara. Pertama
differentiation; datang dari pencapaian keunggulan kualitas atau melalui tepat waktu, pelaksanaan
pelayanan yang handal atau dari menawarkan kinerja yang fleksibel yang sangat
responsif terhadap kebutuhan pelanggan, dan juga dapat menawarkan barang
bermerk, memperluas jangkauan produk, memanfaatkan skala ekonomi, menawarkan
prosedur sangat personal, yang pada akhirnya dapat menawarkan harga yang
pantas (premium). Pencapaian keunggulan kompetitif juga dapat ditempuh melalui
cara kedua, competing on cost (bersaing pada biaya);
menyederhanakan
proses bisnis, standarisasi, memanfaatkan otomatisasi dan menawarkan barang
tanpa
merk, singkatnya melalui proses yang tepat dapat mengurangi biaya
produksi, yang berakhir pada penawaran produk yang murah.
Dalam sistem layanan publik pertanahan tentunya bisa
mengadopsi hal tersebut, dengan cara yang berbeda. Dengan menetapkan renstra
yang tepat semestinya keunggulan kompetitif ini dapat memberi kenyaman pada
masyarakat dalam mengurus pendaftaran tanah, tidak melibatkan biaya yang mahal
dan proses yang berbelit-belit. Rencana Strategis BPN-RI Tahun
2010-2014 merupakan wadah harmonisasi
perencanaan, serta pelaksanaan tugas dan fungsi pemerintah di bidang pertanahan
pasca penataan kembali organisasi BPN-RI secara menyeluruh, terintegrasi,
efisien dan sinergis dengan berbagai sektor dalam rangka mencapai tujuan
pembangunan nasional.
Dengan memperhatikan tugas pokok dan fungsi serta visi dan misi BPN-RI
2010-2014 tersebut, maka sasaran strategis yang diharapkan adalah sebagai
berikut:
·
Pertanahan berkontribusi secara nyata untuk
meningkatkan kesejahteraan rakyat, penciptaan sumber-sumber baru kemakmuran
rakyat, pengurangan kemiskinan dan kesenjangan pendapatan, serta peningkatan
ketahanan pangan (prosperity).
·
Pertanahan berkontribusi secara nyata dalam
peningkatan tatanan kehidupan bersama yang lebih berkeadilan dan bermartabat
dalam kaitannya dengan P4T (equity).
·
Pertanahan berkontribusi secara nyata untuk
mewujudkan tatanan kehidupan bersama yang harmonis dengan mengatasi berbagai
sengketa, konflik dan perkara pertanahan di seluruh tanah air serta melakukan
penataan perangkat hukum dan sistem pengelolaan pertanahan sehingga tidak
melahirkan sengketa, konflik dan perkara di kemudian hari (social welfare).
·
Pertanahan berkontribusi secara nyata bagi
terciptanya keberlanjutan sistem kemasyarakatan, kebangsaan dan kenegaraan
Indonesia dengan memberikan akses seluas-luasnya pada generasi yang akan datang
terhadap tanah sebagai sumber kesejahteraan masyarakat (sustainability) (Anonim, 2010)
2.2. Tingkat
Strategi
Strategi digunakan untuk
mencapai peningkatan output maupun aoutcome dari sebuah lembaga layanan publik,
melalui membangun visi ke depan, dengan memperbaiki kinerja yang efisien dan
memberi dampak yang baik bagi pelaksanaan pelayanan. Hal ini didukung pendapat O’Toole (2006: 191) sebagai berikut “to
improve the ‘efficiency’ of public service” (keinginan untuk meningkatkan 'efisiensi' pelayanan publik). Sedangkan menurut Osborne
and Gaebler (dalam Wallace, 2007: 16), dimana strategi dicapai melalui
pendekatan NPM menyampaikan “ political
project of ‘new public management’ (NPM), seeking efficiency gains and quality
improvements through the introduction of business practices, strong
accountability mechanisms, marketization
and privatization “ (pendekatan politik 'NPM', mencari keuntungan efisiensi dan
peningkatan kualitas melalui pengenalan praktik bisnis, mekanisme akuntabilitas
yang kuat, marketisasi dan privatisasi). Selanjutnya Boyne dkk (2006:
7) menyebutkan bahwa: “range of
management variables influence the performance of public organizations,
including innovation, leadership, managerial quality, and strategy” (berbagai variabel manajemen mempengaruhi
kinerja organisasi publik, termasuk inovasi, kepemimpinan, kualitas manajerial,
dan strategi).
Melalui pendekatan top
down dimana strategi ditingkat perusahaan maupun BPN nasional menetapkan arah
ke seluruh organisasi yang berada dibawahnya, mengakui para pemangku kepentingan kunci
organisasi berusaha untuk memenuhi para stakeholder baik internal maupun
eksternal. Strategi tersebut adalah pernyataan tentang bagaimana organisasi
ingin memposisikan diri dalam ekonomi, politik, dan lingkungan sosial. Untuk mencapai kemampuan
yang maksimal dalam mendorong keberhasilan organisasi mengembangkan dan
melaksanakan strategi dapat mengacu pada model Hayes dan Wheelwright’s, yaitu
teridiri dari :1) internal neutrality (netralitas Intern), pada tahap fungsi
operasi berupaya untuk mencapai standar minimal tertentu, sebagai
fokusnya adalah menghindari kesalahan, sehingga cenderung melihat ke dalam dan
publisitas reaktif. 2) external
neutrality (netralitas eksternal), disini fungsi operasi
membandingkan kinerja mereka dengan organisasi pesaing. Pembandingan
kinerjanya dibandingkan dengan pesaingnya memungkinkan untuk mengidentifikasi
ide-ide terbaik untuk ditiru. 3) internally
supportive (internal mendukung operasi); memiliki aspirasi untuk terus meningkatkan
dan menjadi yang terbaik di pasar. Fungsi operasi telah mengembangkan
proses yang sesuai operasi dan sumber daya yang unggul di daerah di
mana organisasi harus
bersaing secara efektif dan 4) externally
supportive (dukungan
secara
eksternal) pada tingkat fungsi operasi memainkan peran utama dalam strategi pembuatan
dan membentuk dasar kompetitif yang sukses di masa depan, melalui sumber daya
pengorganisasian dengan cara inovatif atau dalam mendesain secara fleksibilitas, sehingga mampu
beradaptasi dengan perubahan pasar
3. Kualitas Layanan Publik atas Pendaftaran
Tanah
Pembentukan layanan publik yang berkualitas adalah hal
yang penting, yang dapat menunjukkan pekerjaan yang baik dari aparat pelayan
publik yang selalu mengedepankan publik sebagai hal yang utama. Fokus pada bagaimana warga merasa tentang kualitas,
kuantitas, dan biaya layanan, serta mampu menata kembali masyarakat dan sumber daya untuk melakukan
pekerjaan itu lebih baik, untuk menemukan kembali sebuah etika pelayanan publik yang
menempatkan publik sebagai
hal yang utama, dan membantu masyarakat di di dalam
kehidupannya. Hal ini terungkap pada pendapat King dan Stivers, secara lengkap
sebagai berikut: “focus on how
citizens felt about the quality, quantity, and cost of the city services, and
was able to reorganize people and resources to do the job better.. to
rediscover an ethical of public service that puts the public first… help the
community on the journey” (King & Stivers, 1998:165).
Menurut Chamber dan Jhonson dalam
buku yang sama, menyebutkan lima tujuan kinerja yang berlaku pada semua
tingkatan operasional yang memberikan keunggulan kompetitif bagi organisasi,
yaitu 1) quality meliputi kualitas dari desain produk pada ukuran estetika, kehandalan dan kinerja serta kualitas proses dalam memberikan produk atau jasa. 2) fleksibilitas adalah mengenai operasi yang bisa mengubah apa yang dilakukannya dengan cepat. Fleksibilitas dalam pilihan layanan, baik cara dan waktu memberi kesempatan untuk
diferensiasi. 3) kecepatan (speed)
adalah semua terkait dengan berapa lama pelanggan menunggu sebelum menerima layanan, memperhatikan schedul perencanaan dan kapasitas perencana serta manajemen persediaan untuk dapat memenuhi tujuan
kecepatan. 4) Ketergantungan (dependability), tentang konsistensi. Proses organisasi harus diarahkan
untuk secara konsisten memenuhi waktu layanan yang dijanjikan untuk produk atau layanan. Dan 5) Biaya (cost) adalah tujuan terakhir, organisasi telah mengadopsi strategi biaya rendah, melalui menurunkan biaya produksi barang dengan harga lebih
rendah yang dapat ditawarkan kepada pelanggan, yang pada gilirannya akan
meningkatkan penjualan dan keuntungan.
Perjuangan untuk mengurangi
konflik, membangun perdamaian yang berkelanjutan, dan memperkuat kapasitas dan
legitimasi Negara yang
terpilih secara demokratis tidak dapat
diremehkan (Doyle dan Sambanis, 2006 di Bevir, 2011: 179). Selanjutnya
dalam masyarakat termiskin di dunia,
tata pemerintahan demokratis menghadapi kendala yang sangat parah dalam
memberikan pelayanan publik dasar kepada warga negara mereka (Bevir, 2011: 179). Menyitir dari
kedua pendapat tersebut, maka Negara Indonesia dalam pelayanan publik kurang
lebih menghadapi berbagai persoalan seperti digambarkan pendapat tersebut,
ketika melakukan perjuangan untuk mewujudkan demokrasi dalam masyarakat.
Mengejar kualitas layanan yang dapat memberikan sejumlah kenyamanan, memberikan
pilihan yang terbaik pada masyarakat dalam setiap bidang layanan publik, yang
hasilnya memuaskan masyarakat dan tidak menimbulkan konflik, khususnya dibidang
layanan pedaftaran tanah.
Hak-hak atas tanah yang diberikan oleh Negara kepada individu atau badan
hukum merupakan bukti yuridis penguasaan tanah sehingga pihak lain tidak dapat
mengganggu gugat hak tersebut. Dapat pula dikatakan bahwa subyek hak atas suatu
tanah akan mendapatkan perlindungan hukum dari orang yang tidak berkepentingan
untuk mengambil alih hak atas tanah tersebut (Sembiring, 2010: 4). Dalam UUPA
tahun 1960 dalam pasal 4 ayat 1 disebutkan bahwa” Atas dasar hak menguasai dari
Negara sebagai yang dimaksud dalam pasal 2 ditentukan adanya macam-macam hak
atas permukaan bumi, yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan
dipunyai orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain serta
badan. Selanjutnya di dalam pasal 16 UUPA/UU No. 5 tahun 1960 tentang Peraturan
Dasar Pokok-Pokok Agraria ditentukan hak-hak yang dapat dimiliki oleh seseorang
dan badan atas suatu tanah (Santosa, 2008; Sembiring, 2010; UUPA 1960) yaitu:
a. hak milik, b. hak guna-usaha, c. hak guna-bangunan, d. hak pakai, e. hak
sewa, f. hak membuka tanah, g. hak memungut-hasil hutan, dan h. hak-hak lain
yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut.
Dalam penyelesaian sertifikat tidak ada upaya tindak lanjut yang dapat
diberikan kepada masyarakat untuk diberikan informasi secara lengkap baik
tentang proses selanjutnya, hubungannya dengan pajak maupun tentang kemanfaatan
dari kepemilikan sertifikat. Permasalahan lain dalam penyelesaian masalah
sertifikat sebenarnya ada perkeculaian-perkecualian mengenai pengenaan biaya
sesuai dengan peraturan pemerintah 2010 terutama bagi masyarakat miskin dan
tanah wakaf, maupun tentang pelaksanaan Prona masyarakat dalam pelayanan
tertentu, tidak dikenakan biaya akan tetapi dalam praktiknya justru membayar
lebih mahal dari pengurusan pendaftaran tanah bagi masyarakat umum. Disamping
itu penerapan pembayaran di masing-masing stakeholder penyelenggara pendaftaran
tanah baik melalui pejabat di kantor camat, dan notaris-notaris sering
menunjukkan perbedaan yang mencolok mengenai biaya, terutama penggenaan pajak
jual beli, atau pemberlakuann perhitungan pajak tidak memiliki ketentuan baku,
seperti tercantum pada Peraturan Pemerintah RI Nomor 13 tahun 2010 tentang
Jenis dan Tarif atas Penerimaan Negara bukan Pajak yang berlaku pada Badan
Pertanahan Nasional.
Ketidak pastian waktu penyelesaian pendaftaran dan pensertifikatan tanah
juga menjadi persoalan yang tidak kalah pentingnya. Permasalahan yang juga
sering memperumit permasalahan di bidang pertanahan dan dapat menimbulkan
konflik adalah adanya aktor sengaja dari beberapa masyarakat dan oknum pejabat
yang berwenang membuat berita acara kesaksisan tentang objek tanah (dokumen
palsu) dan ditambah dengan adanya pejabat pendaftaran tanah yang kurang teliti
dan tidak professional dapat memproduksi sertifikat palsu yang kemudian hari
banyak menimbulkan gugatan dan konflik pada masyarakat. Sumberdaya manusia BPPN
terbatas dan kurang professional dapat menimbulkan penumpukan berkas, hasil
ukur tanah yang berubah-rubah serta biaya yang tinggi pada penyelesaian
pendaftaran tanah, nampaknya pelayanan tidak lepas dari persoalan korupsi “under the new democratic dispensation is
indeed a step in the right direction to ensuring a “corruptionfree” public
service” (Farasmand, 2002: 197). Kurang bagusnya
pelayanan dan praktik pendaftaran tanah yang berbeda dengan visi dan misi BPN,
banyak disebabkan oleh kemampuan manajerial dan administratif dari para
pemangku kepentingan dalam layanan pertanahan, seperti terungkap pada kedua
pendapat berikut ini. Pendapat Lyn “administrative and managerial change’ in
public services” (dalam Osborne and
Brown, .2005: 52) serta didukung
oleh Christopher Hood dan Martin Lodge
menyampaikan bahwa:
“commonplace for politicians and
commentators alike to assert that a ‘new paradigm’ in public
administration—emphasizing ‘delivery’, managerial ability, and initiative on
the part of bureaucrats—is displacing more passive, autonomous, and detached
bureaucratic styles associated with a past era” (bagi politisi dan komentator sama-sama menegaskan
bahwa 'paradigma baru' administrasi penekanan 'delivery', kemampuan manajerial, dan inisiatif dari pihak birokrat-ini menggantikan gaya birokrasi yang
pasif, otonom, dan terpisah dari masa lalu) (Hood & Lodge, 2006: 4).
Mengingat sejumlah
persoalan di atas, tentang layanan pendaftaran tanah, menunjukkan komitmen
aparat pelayanan tidak menunjukkan dari apa yang disiratkan pada UU No. 37
tahun 2008 tentang Ombudsman dan UU No. 25 tahun 2009 tentang Pelayanan Publik.
UU no. 37 tahun 2008 menyebutkan bahwa: tujuan terbentuk Ombudsman adalah
terwujud aparatur penyelenggara negara dan pemerintahan yang efektif dan
efisien, jujur, bersih, terbuka serta bebas dari korupsi, kolusi, dan
nepotisme. Sedangkan pada UU no. 25 tahun 2009 pasal 4, menyebutkan
tentang Penyelenggaraan pelayanan publik berasaskan: a. kepentingan umum; b. kepastian hukum; c.
kesamaan hak; d. keseimbangan hak dan kewajiban; e. keprofesionalan; f.
partisipatif; g. persamaan perlakuan/tidak diskriminatif; h. keterbukaan; i.
akuntabilitas; j. fasilitas dan perlakuan khusus bagi kelompok rentan; k.
ketepatan waktu; dan l. kecepatan, kemudahan, dan keterjangkauan.
Sebenarnya UU tersebut telah disusun untuk memenuhi
kriteria kualitas sektor pelayanan publik, seperti apa yang telah ditulis oleh
Carlson dan Schwarz (1995) sebagai berikut:
1) convenience (kenyamanan), mengukur sejauh mana pelayanan
pemerintah mudah diakses dan
tersedia bagi warga negara;
2) security (keamanan), mengukur sejauh mana layanan yang disediakan dapat membuat warga merasa aman dan percaya diri saat menggunakan layanan;
3) reliability (keandalan), menilai sejauh mana pelayanan pemerintah disediakan dengan benar dan tepat waktu; 4) personal attention (perhatian pribadi), mengukur sejauh mana karyawan memberikan informasi kepada masyarakat dan bekerja dengan mereka untuk membantu memenuhi kebutuhan mereka;
5) problem-solving approach (pendekatan pemecahan masalah), mengukur sejauh mana karyawan memberikan informasi kepada masyarakat dan bekerja dengan mereka untuk membantu memenuhi kebutuhan mereka; 6) fairness (keadilan), mengukur sejauh mana warga percaya bahwa layanan pemerintah disediakan dengan cara yang adil untuk semua; 7) fiscal (tanggung jawab fiskal), mengukur sejauh mana warga negara percaya pemerintah daerah menyediakan layanan dengan cara yang menggunakan uang secara bertanggung jawab; dan citizen influence (pengaruh warga negara); mengukur sejauhmana warga Negara merasa berpengaruh pada kualitas pelayanan publik yang diterima dari pemerintah Den Hardt & Denhardt, 2007: 61).
2) security (keamanan), mengukur sejauh mana layanan yang disediakan dapat membuat warga merasa aman dan percaya diri saat menggunakan layanan;
3) reliability (keandalan), menilai sejauh mana pelayanan pemerintah disediakan dengan benar dan tepat waktu; 4) personal attention (perhatian pribadi), mengukur sejauh mana karyawan memberikan informasi kepada masyarakat dan bekerja dengan mereka untuk membantu memenuhi kebutuhan mereka;
5) problem-solving approach (pendekatan pemecahan masalah), mengukur sejauh mana karyawan memberikan informasi kepada masyarakat dan bekerja dengan mereka untuk membantu memenuhi kebutuhan mereka; 6) fairness (keadilan), mengukur sejauh mana warga percaya bahwa layanan pemerintah disediakan dengan cara yang adil untuk semua; 7) fiscal (tanggung jawab fiskal), mengukur sejauh mana warga negara percaya pemerintah daerah menyediakan layanan dengan cara yang menggunakan uang secara bertanggung jawab; dan citizen influence (pengaruh warga negara); mengukur sejauhmana warga Negara merasa berpengaruh pada kualitas pelayanan publik yang diterima dari pemerintah Den Hardt & Denhardt, 2007: 61).
4.
Pendaftaran Tanah dan Asas Pendaftaran Tanah
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 24 tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah: pasal 1 menyebutkan bahwa:
pendaftaran tanah adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan pemerintah secara
terus menerus, berkesinambungan dan teratur, meliputi pengumpulan, pengolahan,
pembukuan, dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis, dalam
bentuk peta dan daftar, mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah
susun, termasuk pemberian surat tanda bukti haknya bagi bidang-bidang tanah
yang sudah ada haknya dan hak milik atas satuan rumah susun serta hak-hak
tertentu yang membebaninya. Pendaftaran tanah menurut pasal 3 bertujuan:
a. Untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan
hukum kepada pemegang hak atas suatu bidang tanah, suatu rumah susun dan
hak-hak lain yang terdaftar agar dengan mudah dapat membuktikan dirinya sebagai
pemegang hak yang bersangkutan.
b. Untuk menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang
berkepentingan termasuk pemerintah agar dengan mudah dapat memperoleh data yang
diperlukan dalam mengadakan perbuatan hukum mengenai bidang-bidang tanah dan
satuan-satu rumah susun yang sudah terdaftar;
c. Untuk terselenggaranya tertib administrasi pertanahan
Asas-asas Peraturan Pemerintah Republik Indonesai Nomor 24 tahun 1997,
tentang pendaftaran tanah tersebut dimaksudkan untuk hal-hal sebagaimana
dijelaskan dibawah ini, yaitu sebagai berikut:
1.
Asas
sederhana; dimaksudkan agar ketentuan – ketentuan pokok
maupun prosedur dengan mudah dapat dipahami oleh pihak-pihak yang
berkepentingan, terutama para pemegang hak atas tanah.
2.
Asas
aman, dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa untuk
menunjukkan bahwa pendaftaran tanah perlu diselenggarakan secara teliti dan
cermat, sehingga hasilnya dapat memberikan jaminan kepastian hukum sesuai
tujuan pendaftaran tanah itu sendiri.
3.
Asas
terjangkau, dimaksudkan untuk keterjangkauan bagi
pihak-pihak yang memerlukan, khususnya dengan memperhatikan kebutuhan dan
kemampuan golongan ekonomi lemah.
4.
Asas
mutahir, dimaksukan sebagai kelengkapan yang memadai dalam
pelaksanaanya dan berkesinambungan dalam pemeliharaan datanya. Data yang
tersedia harus menunjukkan keadaan mutahir.
5.
Asas
terbuka, dimaksudkan untuk memberikan informasi kepada
masyarakat agar dapat memperoleh keterangan mengenai data mengenai pertanahan
yang benar setiap saat (Sembiring, 2010: 23).
Pelayanan pendaftaran
tanah dan termasuk pemberian hak milik formal berupa sertifikat tanah. Menurut Bosu
(1997: 10) bahwa, di dalam hukum agraria
pengertian sertifikat pada dasarnya merupakan abstraksi dari daftar umum hak
atas tanah dan merupakan satu-satunya pembuktian formal hak atas tanah; atau
dengan kata lain dapat dikatakan bahwa sertifikat merupakan turunan atau
salinan dari buku tanah dan surat ukur. Sedangkan daftar umum didalam rangka pendaftaran tanah terdiri dari
daftar tanah; daftar nama; daftar buku tanah; dan daftar surat ukur yang
merupakan hasil kegiatan inventarisasi (pendaftaran tanah) Desa demi Desa atau
sporadis dalam rangka pelayanan masyarakat. Selanjutnya buku tanah adalah
kumpulan data mengenai objek dan subyek hak, asal hak; sebab-sebab peralihan
hak dan lain-lain mengenai sebidang tanah. Surat tanah adalah akta
authentic yang secara jelas menguraikan objek hak atas tanah, letak, luas,
tanda dan petunjuk batas dan sebagainya (klangsiran).
Gambar tanah dapat diperoleh melalui kutipan peta tanah (krawangan).
Selanjut manfaat sertifikat menurut Bosu, menurut
ketentuan perundang-perundangan dan kebijakan pemerintah dalam penerbitan
sertifikat ini, pada hakekatnya dimaksudkan untuk:
a.
Memberikan kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah
baik oleh manusia secara perorangan maupun oleh suatu badan hukum.
b.
Memberikan bukti
autentik bahwa orang yang tercantum namanya dalam sertifikat tersebut adalah
pemegang hak sesungguhnya.
c.
Memberikan kepastian mengenai subyek dan objek hak atas
tanah serta status hak atas tanah tersebut.
Meskipun dalam UU dan peraturan pemerintah telah diatur tentang kepastian
hukum, menjamin hak milik pribadi dan badan, keamanan dan keamanan bagi pemilik
tanah, dalam praktik masih banyak persoalan yang muncul untuk menunjukkan
terganggunya kepuasan warga Negara dalam memperoleh haknya pada pelayanan
publik. Berikut dengan meminjam pendekatan SWOT dan PESTELI dari tulisan Bill
Hollins dan Sadie Shinkins (2006), untuk mengkaji berbagai faktor dan
keunggulan, serta peluang dalam layanan pendaftaran tanah, sebagai berikut.
Analsis SWOT (Strengths, Weaknesses, Opportunities, Threats) dan PESTELI (Political, Economic, Social, Technological,
Environmental, Legislative, Industry), di bidang pelayanan Pendaftaran dan
Pensertifikatan Tanah seperti berikut ini:
Strengths
(kekuatan):
-
Didukung oleh
UUPA 1960 dan UUD 33 Ayat 3, dan beberapa UU dan peraturan pemerintah lainnya;
-
Memiliki
lembaga layanan sampai pada tingkat kecamatan dan dibantu lembaga-lembaga lain
seperti notaris; dan
-
Bantuan
teknologi dan informasi memungkinkan memudahkan pelayanan secara massal.
Weaknesses
(kelemahan):
-
UUPA perlu
pelaksanaanya ditingkatkan pada setiap lembaga layanan pertanahan, petugas
belum professional dan biaya tinggi;
-
Pergantian
kepemiminan mempengaruhi perubahan system layanan pensertifikatan yang lebih
banyak bernuansa merugikan pihak-pihak berkepentingan;
-
Pemahanan
masyarakat tentang hak-hak atas kepemilikan sertifikat dan pemanfaatan hak atas
tanah masih rendah;
-
Masyarakat
belum memiliki pandangan yang cukup tentang hak tanah, sebagai sarana produksi
yang bisa diupayakan secara luas dalam
mendukung kemampuan secara politik, ekonomi dan social, bahkan kultur; dan
-
Tidak memiliki
lembaga khusus yang dapat menyelesaikan kasus tanah akibat kesalahan penerbitan
sertifikat maupun kasus lainnya yang diakibatkan kelalaian layanan di bidang
pertanahan.
Opportunities
(peluang):
-
Belum semua
tanah tersertifikat, memungkinkan peningkatan pajak bumi dan bangunan yang
telah diserahkan pemungutannya pada Pemerintah Daerah;
-
Prospek bisnis
tanah dan property berpengaruh pada peningkatan pelayanan atas pengurusan
kepemilikan tanah;
-
Tanah – tanah
tidak produktif perlu diinventarisasi dengan jelas sehingga penerapan biaya dan pajak dapat dilakukan secara
proporsional; dan
-
Pertambahan
penduduk memerlukan wilayah pemukiman yang luas, menjadi tantangan dalam
mengatur dan menentukan penggunaan lahan masyarakat, menjadi obyek layanan yang
menarik dan berisiko terjadi banyak permasalahan pertanahan;
Threats
(Tantangan):
-
Kepemilikan
yang tidak jelas menjadi obyek sengketa;
-
Pengaruh
geopolitik internasional, memungkinkan kepemilikann tanah oleh orang asing,
dapat menimbulkan keterdesakan penduduk pribumi, bisa menimbulkan konflik baru.
-
Sumberdaya
manusia yang kurang professional dapat menghasilkan produk layanan yang tidak
dapat menjamin kepastian hokum bagi masyarakat dan rawan terhadap terjadi
konflik.
-
Pemahaman
masyarakat tentang hak milik dan penghargaan hak milik menimbulkan perilaku
yang brutal, penyerobotan dan tidak mengakui hak perorangan, badan maupun
Negara.
Selanjutnya faktor-faktor yang menjadi perhatian dalam penggunaan dan
pendaftaran tanah berdasarkan akronim PESTELI (Political, Economic, Social, Technological,
Environmental, Legislative, Industry) sebagai berikut:
1)
Political factors
(faktor politik): tanah dapat
dianggap sebagai identitas kehormatan dan kekuasaan, dimana sering memicu
komplik baik antar pribadi, kelembagaan dan antara masyarakat dengan
pemerintah.
2)
Economic factors
(faktor ekonomi): tanah sebagai alat produksi, hak milik, hak guna pakai, hak
bangunan dan hak sewa, dan mengandung nilai ekonomi yang tinggi.
3)
Social factors (faktor
sosial); tanah sebagai hak ulayat, tempat tinggal, hubungannya dengan waris,
hubungan sosial, tempat penyelenggaraan kegiatan keagamaan, hubungan
kekerabatan, status dan prestise.
4)
Technological
factors (factor teknologi); tanah perlu dikelola dengan teknologi tepat
guna, dapat mendorong kemajuan secara ekonomi, sarana produksi bernilai
komersial dan investasi.
5)
Environmental
factors (faktor lingkungan); menciptakan kegiatan ramah lingkungan,
pengaturan tata ruang penggunaan tanah, serta tidak memunculkan dampak
lingkungan alamiah maupun social.
6)
Legislative
factor (faktor legislasi); konflik kepentingan diatur melalui upaya-upaya
legislasi, penguatan hak milik, pemetaan serta penyusunan tata ruang publik.
7)
Industry factor (industry);
dapat dikembangkan dalam investasi, bisnis property dan reteal, yang
menjanjikan di masa mendatang.
5. Hambatan dan Rekomendasi Penyelesaian
Pendaftaran Tanah
Meskipun telah digariskan dalam UU dan peraturan dalam upaya pendaftaran
tanah sebagai dimensi layanan publik tetap mengalami berbagai hambatan. Para
pelayan publik enggan melakukan perubahan disektor publik untuk menghasilkan
untuk menghasilkan layanan yang berkualitas. Resistensi perubahan ini menurut
tulisan Doherty dan Horne disebabkan beberapa hal di bawah ini:
1)
Kepatuhan
terhadap birokrasi 'kebiasaan' yang berkaitan dengan peraturan delegasi,
legalisme prosedural; perlunya kehati-hatian dan
keamanan: skeptisisme sering menjadi perdebatan manajemen;
2)
Karena berbagai tingkat kesulitan kewenangan, akuntabilitas dan pelaporan;
3)
Kecenderungan
untuk mendorong pengambilan keputusan atas. Hal ini bertentangan dengan pendekatan
untuk meningkatkan pengawasn diri dan pengendalian diri;
4)
Keterkaitan dengan kepentingan banyak pihak;
5)
Konflik
kepentingan, agenda, aliansi, struktur penghargaan dan nilai-nilai;
6)
Dukungan
dana untuk program manajemen perubahan sulit untuk diperoleh. Pendanaan untuk
konsultan terbatas karena banyak orang harus menyetujui pengeluaran (Doherty & Horne, 2002: 41)
Beberapa hambatan yang dihadapi dalam upaya pendaftaran tanah dari hasil
temuan Untoro (2009) adalah sebagai berikut:
1)
Batas-batas tanah yang dimiliki warga sering tidak
jelas dan keadaan tanah tersebar di wilayah yang luas;
2)
Perubahan kepemilikan tanah sering tidak dilaporkan
kepada pejabat berwenang;
3)
Tanda kepemilikan tanah sering dinyatakan hilang oleh
masyarakat;
4)
Tidak adanya anggaran yang cukup pada peerintah untuk
mendukung pelaksanaan pendaftaran tanah secara sistematik; dan
5)
Terbatasnya alat dan
sumber daya manusia serta tenaga ahli yang betul-betul mempunyai
kemampuan dalam bidang pertanahan secara sistematik.
Jean Hartley menyebutkan
bahwa dalam hal mencapai layanan berkualitas maka para pelaksana layanan publik
harus “changing attitudes to authority,
have also shifted the standards by which public services are judged by both the
public and the media” (perubahan sikap pada otoritas, merubah standar pelayanan publik mengacu pada
apa yang dinilai baik oleh publik dan media) (Hartley et all, eds.,
2008: 11). Keterlibatan masyarakat juga sangat penting dalam memperbaiki kinerja
pelayanan publik dibidang pendaptaran tanah, seperti disampaikan oleh Klijn
(dalam Calabro, 2011: 71) bahwa keterlibatan
citizen sebagai berikut “through
participatory citizenship in the government of complex issues like the delivery
of public services” (dengan menjadi warga partisipatif di
berbagai isu dalam pemerintahan yang kompleks seperti pelayanan publik). Hal ini
diperlukan dengan kesadaran masyarakat yang tinggi, maka pengawasan terhadap
kinerja BPN, upaya upaya praktik kolusi, nepotisme dan korupsi dapat dicegah,
serta masyarakat dengan sadar akan mendaftarkan tanahnya.
Rekomendasi:
1)
Memberi
informasi yang luas pada masyarakat dalam meningkatkan kesadarannya untuk
pendaftaran dan pensertifikatan tanah perlu dilakukan secara terus menerus
bekerjasama dengan pihak-pihak terkait dan berkepentingan;
2)
Adanya
perubahan sistem pelayanan dengan memutus birokrasi yang berbelit-beli di Badan
Pertanahan Nasional;
3)
Pengadaan dan
pengaktifan lembaga ombudsman guna dapat mencegah permasalahan tanah dan dampak
konflik yang ditimbulkan oleh kesalahan dalam pembuatan dokumen pertanahan.
4)
Pembebasan
biaya tambahan yang dikenakan pada masyarakat yang terkena musibah kebakaran,
bencana maupun kerusuhan sosial, seperti kasus pembakaran kantor di Kabupaten
Buleleng dan kasus tanah adat di Lemukih.
5)
Pembebasan
biaya bagi masyarakat miskin, untuk mendaftarkan hak miliknya, sesuai dengan
pendapat Jocelyn C. Cuarresma yang mengatakan “specific service commitments to improve
service delivery to the poor and low income household in the service area…
coverage and enabling the poor to have acces” (Minogue & Carino, 2006:
258);
6)
Pelaksanaan
system pembayaran dan pelaporan pendaftaran tanah secara transfaran dan
terpublikasi secara periodik untuk mencegah adanya pungutan liar;
7)
Tanah-tanah
warisan dan hak ulayat desa adat cukup dilaporkan kepada pejabat pemerintah di
tingkat bawah apabila tidak ada proses jual beli, yang melibatkan hukum
nasional;
8)
Pembiayaan
pendaftaran tanah rumah penduduk miskin, perlu dibebaskan atau disubsisdi;
9)
Pemerintah
daerah perlu memiliki Peta Dasar tentang objek tanah penduduk yang sudah
mendapatkan hak milik maupun belum memiliki.
10)
Peningkatan kerjasama dengan pihak-pihak terkait baik
dalam sosialisasi, maupun pelaksanaan pendaftaran tanah untuk menghindari
sengketa-sengketa tanah di masa yang akan datang terutama yang melibatkan obyek
yang luas dan besar, seperti asset Negara, asset desa adat dan perusahaan
swasta maupun pemerintah.
11)
Segera mencari solusi terhadap persengkataan atas tanah
baik perorangan, melembaga, secara massa maupun sengketan yang melibatkan
pemerintah.
6. Kesimpulan
Dalam pelayanan pendaftaran tanah menjadi bagian dari layanan publik
pemerintah masih perlu ditingkatkan kualitasnya, dengan menyusun rencana
strategis pemerintah melalui Badan Pertanahan Nasional, serta peningkatan
komitmen pelaksanaan terhadap undang-undang dan peraturan lainnya, serta visi
dan misi yang telah disusun sebelumnya. Upaya peningkatan kesadaran masyarakat
untuk mendaftarkan tanahnya dan berpartisipasi aktif dalam layanan publik
pemerintah, akan menghasilkan layanan yang akuntable, transfaran, memenuhi
standar kualitas yang diharapkan, rendah biaya dan dapat menjamin kepastian
hukum hak milik, serta mencegah konflik atas tanah secara luas. Pembekalan profesionalisme
aparat dalam penyelenggaraan layanan publik, dapat meningkatkan pemahaman dan
komitmen pelaksana pelayanan publik pada kualitas layanan.
Daftar Pustaka
Bevir,
Mark, 2011. Governance. Sage Publication, California.
Bosu,
Benny, 1997. Perkembangan Terbaru (Tanah,
Tanggungan, dan Conduminium). Jakarta: Departemen Pekerjaan Umum.
Boyne, George A, eds., 2006. Public Service Performance: Perspectives on
Measurement and Management. Cambridge Unversity Press , New York.
Butarbutar,
2010. “Jumlah Kasus Konflik Tanah
Meningkat”. Pikiran Rakyat. Rabu,
26/05/2010 - 15:42.
Calabro,
Andrea, 2011. Governance Structures and
Mechanisms in Public Service Organizations: Theories, Evidence and Future
Directions. Springer-Verlag Berlin.
Chrysantini,
Pinky, 2007. Berawal Dari tanah Melihat ke dalam Aksi Pendudukan
Tanah.Bandung: AKATIGA Pusat Analisis Sosial.
Den Hardt,
JU & RD Denhardt, 2007. The Public
Service Serving Not Steering. ME
Sharpe, New York.
Doherty,
Tony L, & Terry Horne, 2002. Managing
Public Service: Implementing Change. Routledge, London and New York.
Farazmand,
Ali, ed., 2002. Administrative Reform in Developing Nations. Praeger, London.
Goenawan,
Kian, 2009. Panduan Mengurus Sertifikat
Tanah dan Property Praktis. Yogyakarta: Best Publisher.
Hartley,
Jean, et all, Eds., Managing
to improve public services. Cambridge University Press, New York.
Hood,
Christopher & Martin Lodge, 2006. The
Politics of Public Service Bargains: Reward, Competency, Loyalty—and Blame.
Oxford University Press. New York.
Joewono,
Benny N, 2010. “Konflik Adat Lemukih Hanguskan 30 Rumah” . Kompas. Jumat, 22 Oktober 2010.
King,
Cheryl Smrell & Camilla Stivers, 1998. Goverment
is Us: Public Administration in an Anti Government Era. Sage Publication,
New Dehli.
Minogue, Martin & Ledvina Carino, eds., 2006. Regulatory Governance In Developing Countries. Edward Elgar, UK
Northamton.
O’Toole, Barry J, 2006. The Idea Of Public Service: Reflections on
the Higher Civil Service in Britain. Routledge. New York.
Osborne, Stephen P. & Kerry Brown, 2005. Managing Change and Innovation in Public Service Organizations . Routledge,
New York.
Peraturan
Pemerintah Republik Indonesai Nomor 24 tahun 1997, tentang pendaftaran tanah.
Ratnasa,I
Gede Sukardan, 2010. “Investigasi raster
Kasus Lemukih Berawal dari ''Landreform''. Bali
Post. 29 Oktober 2010.
Santosa,
Budi, 2008. Profit Berlipat dengan
Berinvestasi Tanah dan Rumah, Jakarta: PT Elek Media Kompu Indo.
Sembiring,
Jimmy Joses, 2010. Panduan Mengurus
Tanah. Jakarta Selatan: Trasmedia Pustaka.
Suryanti, Sri, 2009. “Kinerja Aparat
Pelayanan Pada Kantor Pertanahan Kota Semarang”. Dalam Tesis. Program Pascasarjana Universitas Diponegoro.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2009
Tentang Pelayanan Publik.
Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 37 Tahun 2008 Tentang Ombudsman
Republik Indonesia.
Untoro,
Ayub Firtnanda, 2009. “Tinjauan Kritis Pendaftaran Tanah Sistematika melalui Land Management and Policy Development
Program di Kecamatan Balapulang Kabupaten Tegal”. Dalam Tesis. Semarang: Program Studi Magister
Kenotariatan Pasca Sarjana Undip.
Wallace,
Mike, et all, eds., 2007. Managing
Change in the Public Services. Blackwell Publishing, Victoria
Tidak ada komentar:
Posting Komentar